Senin, 4 Agustus 2025 23:58:58 WIB

Albatross Tiongkok vs Saildrone AS: Siapa yang Lebih Siap Menguasai Lautan?
Teknologi

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

USV Albatross Tiongkok di Laut Lepas

Di tengah meningkatnya frekuensi badai tropis dan perubahan iklim yang makin ekstrem, Tiongkok kembali membuat langkah besar yang nyaris luput dari perhatian banyak orang. Sebuah wahana laut tanpa awak bertenaga angin, bernama “Albatross”, berhasil menembus pusat dua topan besar dalam satu musim dan mengumpulkan data penting tentang bagaimana badai terbentuk dan berubah. Teknologi ini bukan hanya kemajuan dalam ilmu cuaca, tetapi juga sinyal penting tentang bagaimana negara-negara besar kini berlomba menguasai informasi dari lautan.

Albatross dikembangkan oleh tim dari Universitas Zhejiang, salah satu kampus bergengsi di Tiongkok. Dengan teknologi sensor canggih dan sistem navigasi otomatis, wahana ini mampu bergerak secara mandiri hingga ke pusat badai, lokasi yang selama ini sangat sulit dijangkau bahkan oleh kapal berawak atau satelit. Data yang dikumpulkan sangat berharga untuk memahami interaksi antara udara dan laut yang merupakan faktor kunci dalam membentuk kekuatan topan. Menurut ketua tim peneliti, Profesor Li Peiliang, bahkan kesalahan kecil dalam data awal bisa menyebabkan prakiraan badai yang meleset jauh dari kenyataan.

Kalau kita pikirkan, selama ini prakiraan cuaca sering menjadi bahan keluhan. Salah satu contohnya ketika badai besar datang lebih cepat dari perkiraan, atau berubah arah secara tiba-tiba. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya data langsung dari laut, terutama di wilayah-wilayah penting yang jarang tersentuh oleh teknologi pengamatan. Kehadiran Albatross bisa mengisi kekosongan itu. Bahkan, rencananya wahana ini akan ditingkatkan kemampuannya, termasuk menyelam hingga kedalaman 1.000 meter dan dilengkapi lebih banyak sensor lingkungan. Tujuannya, mengumpulkan data selengkap mungkin tentang pertukaran panas dan energi antara laut dan atmosfer, sesuatu yang sangat penting untuk prediksi iklim dan cuaca ekstrem.

Namun pertanyaannya, apakah teknologi ini murni untuk riset ilmiah dan penyelamatan manusia dari bencana? Atau ada dimensi lain yang sedang dimainkan?

Di sinilah kita perlu melihatnya dari sudut pandang hubungan internasional. Dalam dunia yang makin kompetitif, data adalah kekuasaan baru. Negara yang punya akses terhadap informasi cuaca, arus laut, dan kondisi bawah laut memiliki keunggulan strategis, baik untuk kepentingan sipil seperti pelayaran dan bencana, maupun untuk kepentingan militer dan geopolitik. Dari sudut pandang teori realisme dalam hubungan internasional, proyek seperti Albatross bisa dibaca sebagai bagian dari strategi jangka panjang Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya di laut, termasuk di kawasan sensitif seperti Laut Cina Selatan dan Samudra Pasifik.

Sebaliknya, dari pendekatan liberal, teknologi ini sebenarnya bisa jadi pintu masuk kolaborasi global. Bayangkan jika data yang dikumpulkan Albatross dibagikan secara terbuka ke dunia, maka negara-negara kepulauan di Pasifik, Asia Tenggara, hingga Afrika bisa lebih siap menghadapi badai. Tapi, transparansi seperti ini tentu membutuhkan kepercayaan internasional yang besar, yang masih sulit dibangun di tengah ketegangan global saat ini.

Kalau dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) dan negara Barat lainnya, sebenarnya teknologi serupa sudah ada. AS punya proyek “Saildrone” yang juga mengirim drone laut ke wilayah badai untuk mengumpulkan data. Tapi perbedaannya ada pada pendekatan, yang mana di Barat, proyek-proyek seperti ini sering digerakkan oleh kemitraan antara pemerintah dan swasta. Sementara di Tiongkok, negara memimpin penuh. Artinya, kontrol dan arah penggunaannya sangat terpusat, dan bisa dengan mudah disesuaikan untuk tujuan strategis.

Tiongkok juga tidak main-main. Mereka berencana menguji coba Albatross untuk misi navigasi global, terutama di sepanjang sabuk maritim jalur perdagangan Barat. Ini bukan hanya tentang teknologi, tapi juga tentang memperluas jangkauan pengamatan dan pengaruh. Lautan kini bukan lagi sekadar jalur pelayaran, tapi juga ladang data. Siapa yang menguasai datanya, punya pengaruh besar terhadap masa depan.

Apa artinya bagi kita semua? Dunia sedang bergerak ke arah di mana teknologi seperti Albatross akan menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan global mulai dari prediksi badai, mitigasi bencana, hingga keamanan laut dan pergerakan logistik. Tapi ini juga mengingatkan kita bahwa batas antara inovasi sains dan strategi negara makin kabur. Ketika alat pengamat cuaca bisa sekaligus jadi instrumen pengawasan maritim, kita harus lebih kritis membaca arah kebijakan teknologi global.

Albatross bisa menjadi harapan baru dalam menghadapi badai. Tapi di saat yang sama, ia juga bisa menjadi cermin bagaimana sains, politik, dan kekuasaan kini saling terkait erat di lautan terbuka. Dunia harus siap menghadapi era baru, di mana persaingan global tak hanya terjadi di daratan atau angkasa luar, tapi juga di samudra yang luas melalui drone, sensor, dan data sebagai senjatanya.

Komentar

Berita Lainnya