Sabtu, 31 Mei 2025 18:2:52 WIB

Strategi Bisnis Tiongkok Terbukti Unggul dari Strategi AS dan Barat: Indonesia Perlu Pelajari Jika Ingin Jadi Negara Mandiri dan Maju
Ekonomi

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Ilustrasi

Kunjungan resmi Perdana Menteri (PM) Tiongkok, Li Qiang, baru-baru ini ke Indonesia dan penandatanganan sejumlah Nota Kesepahaman (MoU) bersama Presiden Prabowo Subianto bukan sekadar seremoni diplomatik, melainkan sebuah langkah strategis yang mencerminkan arah baru hubungan ekonomi kedua negara.

Dalam situasi global yang ditandai oleh ketegangan geopolitik antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS), momen ini mengisyaratkan semakin eratnya kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok, serta mengindikasikan terbukanya peluang bagi Indonesia untuk belajar dari model pembangunan ekonomi Tiongkok yang telah terbukti sukses dalam dua dekade terakhir.

Model pembangunan ekonomi Tiongkok dibangun atas dasar sosialisme berkarakteristik nasional, yang menempatkan negara sebagai aktor utama dalam perencanaan, pengendalian, dan investasi sektor-sektor strategis. Pendekatan ini berbeda secara fundamental dengan model pasar bebas yang selama ini dianut oleh negara-negara Barat, khususnya AS yang cenderung menyerahkan sepenuhnya mekanisme ekonomi pada kekuatan pasar.

Tiongkok, sebaliknya, menerapkan strategi Developmental State di mana pemerintah memainkan peran sentral dalam industrialisasi nasional. Melalui kebijakan seperti Made in China 2025, pemerintah Tiongkok secara aktif mengarahkan investasi dan pengembangan teknologi nasional, yang menghasilkan keberhasilan perusahaan-perusahaan seperti Huawei, Build Your Dreams (BYD), dan Contemporary Amperex Technology Co., Limited (CATL). Ketiganya tumbuh pesat berkat dukungan negara dalam bentuk subsidi, insentif pajak, pinjaman murah, serta proteksi pasar domestik.

Tak hanya itu, strategi ekspansi global melalui kebijakan Go Out Policy mendorong perusahaan-perusahaan Tiongkok untuk mengakuisisi dan berinvestasi di luar negeri. Akuisisi Volvo oleh Geely dan ekspansi global TikTok oleh ByteDance adalah contoh konkret keberhasilan pendekatan ini. Selain itu, melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI), Tiongkok membangun proyek infrastruktur di berbagai negara sebagai bagian dari strategi memperluas pengaruh ekonomi.

Keunggulan lainnya terletak pada kemampuannya membangun rantai pasok yang terintegrasi secara vertikal dari hulu ke hilir, sebagaimana dilakukan Xiaomi dalam produksi ponsel. Dengan mengendalikan seluruh proses produksi di dalam negeri, biaya dapat ditekan dan efisiensi meningkat secara signifikan.

Sebaliknya, negara-negara Barat masih bergantung pada prinsip pasar bebas dengan tingkat intervensi negara yang minimal. Hal ini menyebabkan sejumlah kelemahan struktural, seperti deindustrialisasi, lemahnya proteksi industri strategis, dan ketergantungan pada rantai pasok global.

AS misalnya, mengalami keterlambatan dalam pengembangan teknologi 5G karena tidak memiliki rencana industri nasional yang terkoordinasi. Ketergantungan pada produksi semikonduktor dari Taiwan dan Korea Selatan juga menunjukkan rapuhnya posisi strategis AS dalam menghadapi disrupsi global.

Perbandingan antara strategi Tiongkok dan negara-negara Barat menegaskan pentingnya peran negara dalam pembangunan ekonomi. Di Tiongkok, sinergi antara negara dan sektor swasta menjadi faktor kunci keberhasilan. Negara menyediakan infrastruktur, perlindungan, dan modal, sementara sektor swasta berfokus pada efisiensi dan inovasi.

Salah satu indikator keberhasilan pendekatan ini adalah tingginya belanja Riset dan Pengembangan (R&D), yang menjadikan Tiongkok sebagai negara dengan pengeluaran R&D terbesar kedua di dunia. Huawei, misalnya, mengalokasikan lebih dari 20 persen pendapatannya untuk kegiatan R&D, yang mendukung dominasi mereka di bidang teknologi strategis seperti Kecerdasan Buatan (AI) dan jaringan telekomunikasi.

Bagi Indonesia, keberhasilan Tiongkok menyampaikan pesan yang jelas bahwa transformasi ekonomi memerlukan perencanaan jangka panjang, intervensi negara yang strategis, serta dukungan kuat terhadap riset dan inovasi. Indonesia dapat mengambil pelajaran penting dari model ini untuk memperkuat kemandirian ekonomi nasional.

Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah membentuk lembaga perencanaan industri nasional yang kuat dan independen, dengan mandat untuk mengarahkan investasi negara ke sektor-sektor prioritas. Di saat yang sama, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus diberdayakan sebagai agen utama industrialisasi dengan manajemen yang profesional dan strategi ekspansi global yang terarah.

Pemerintah Indonesia juga perlu meningkatkan belanja R&D, memperkuat kolaborasi antara perguruan tinggi dan sektor industri, serta membangun kawasan industri berbasis inovasi yang dekat dengan pusat-pusat riset. Penguatan rantai pasok dalam negeri juga menjadi urgensi untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku dan teknologi impor. Lebih jauh lagi, Indonesia dapat mendorong kebijakan substitusi impor secara selektif, terutama di sektor strategis seperti teknologi, energi terbarukan, dan alat kesehatan.

Dalam kerangka kerja sama Indonesia-Tiongkok, terdapat sejumlah peluang konkret yang dapat dimanfaatkan secara strategis. Indonesia dapat menjalin kemitraan teknologi dengan perusahaan seperti Huawei, Zhong Xing Telecommunication Equipment Company Limited (ZTE), dan CATL untuk memperkuat kapasitas nasional dalam 5G, kendaraan listrik, dan energi bersih.

Investasi Tiongkok dalam pembangunan kawasan industri berteknologi tinggi di Indonesia harus diarahkan pada skema joint venture yang menjamin alih teknologi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia lokal. Selain itu, kerja sama dalam pendidikan vokasi dan pelatihan teknis dapat menghasilkan generasi teknokrat dan insinyur yang mendukung visi industrialisasi nasional.

Dalam konteks pembiayaan dan pembangunan infrastruktur strategis, Indonesia dapat memanfaatkan skema BRI sebagai sumber pembiayaan untuk proyek-proyek logistik, pelabuhan, dan energi. Kolaborasi riset antara lembaga riset Indonesia dengan institusi seperti Chinese Academy of Sciences juga dapat mempercepat inovasi yang berbasis pada kebutuhan domestik.

Keberhasilan Tiongkok menunjukkan bahwa transformasi ekonomi bukanlah hasil dari proses spontan, melainkan buah dari perencanaan strategis, koordinasi nasional, dan sinergi antara aktor negara dan non-negara. Di tengah perubahan geopolitik global dan meningkatnya disrupsi teknologi, pendekatan negara aktif yang mengutamakan visi jangka panjang, penguasaan teknologi, dan penguatan kapasitas produksi dalam negeri semakin relevan.

Indonesia berada pada posisi strategis untuk memetik pelajaran dari pengalaman Tiongkok, bukan untuk meniru secara mutlak, tetapi untuk membangun model pembangunan yang kontekstual, berakar pada potensi nasional, dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Dalam dunia yang semakin multipolar, Indonesia perlu menyusun strategi cerdas agar tidak terjebak dalam tarik-menarik pengaruh antara Timur dan Barat, melainkan berdiri sebagai kekuatan ekonomi yang mandiri dan kompetitif di panggung global.

Komentar

Berita Lainnya

Krisis Ekonomi 1997 Kembali Bayangi Asia Ekonomi

Kamis, 6 Oktober 2022 13:29:54 WIB

banner