Sabtu, 28 Juni 2025 18:57:36 WIB

Mikrodrama Tiongkok: Strategi Budaya Baru Saingi Drama Korea dan Jepang dalam Era Digital Serbacepat
Tiongkok

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Adegan dari salah satu mikrodrama populer asal Tiongkok yang mengusung konflik intens dalam durasi singkat.

Dalam dua dekade terakhir, kita menyaksikan revolusi besar dalam cara manusia memproduksi dan mengonsumsi konten hiburan. Jika dahulu televisi mendominasi ruang keluarga, kini perhatian kita telah berpindah ke layar kecil yang selalu berada di genggaman ponsel pintar. Perubahan ini tidak hanya berdampak pada bentuk dan format konten, tetapi juga pada dinamika kekuatan budaya global.

Salah satu manifestasi paling mencolok dari transformasi ini adalah maraknya mikrodrama Tiongkok, atau yang juga dikenal sebagai duanju, short drama, maupun vertical drama. Serial drama berdurasi sangat singkat ini dirancang khusus untuk konsumsi cepat di media sosial seperti TikTok, Douyin, Instagram Reels, dan YouTube Shorts. Fenomena ini bukan hanya mengubah cara bercerita, tetapi juga membuka babak baru dalam pertarungan soft power di tingkat internasional.

Dari K-Drama ke Mikrodrama: Pergeseran Format, Pergeseran Strategi

Selama bertahun-tahun, drama Korea (K-Drama) dan Jepang (J-Drama) menjadi ujung tombak diplomasi budaya Asia Timur. Dengan narasi panjang, visual sinematik, dan cerita emosional, konten ini dikonsumsi lewat platform streaming seperti Netflix atau Viu. Namun, mikrodrama Tiongkok datang dengan pendekatan berbeda yaitu cepat, murah, adiktif, dan sangat mudah tersebar berkat algoritma media sosial.

Dalam konteks ini, mikrodrama menawarkan tiga keunggulan strategis utama dibandingkan dengan format drama konvensional:

  1. Efisiensi Konsumsi
    Dengan durasi 1–5 menit per episode, mikrodrama sangat cocok untuk gaya hidup modern yang serbacepat. Satu alur cerita bisa selesai hanya dalam waktu 30 menit, menjadikannya ideal bagi penonton dengan waktu terbatas, seperti pelajar atau pekerja kantoran.
  2. Distribusi Nativ-digital
    Mikrodrama tidak bergantung pada platform streaming besar. Ia tumbuh di dalam algoritma media sosial, memanfaatkan cliffhanger dan pemicu emosional untuk mendorong engagement. TikTok dan Douyin, dengan fitur “For You Page” (FYP), menjadi mesin distribusi otomatis yang sangat efektif.
  3. Produksi Murah, Potensi Besar
    Berbeda dengan K-Drama yang menelan biaya miliaran per judul, mikrodrama dapat diproduksi dengan bujet rendah namun tetap menghasilkan pendapatan tinggi jika viral. Studio-studio kecil dan aktor pendatang baru diberi ruang, menjadikan industri ini inklusif dan dinamis.

Bukan Sekadar Hiburan: Soft Power 2.0 dan Diplomasi Budaya

Mikrodrama kini menjadi bagian dari strategi soft power 2.0 Tiongkok dalam pendekatan baru untuk menyebarkan nilai budaya melalui konten digital ringan yang viral. Ini berbeda dari strategi Korea Selatan yang lebih institusional dan terkoordinasi, atau Jepang yang lebih pasif dan berbasis reputasi lama.

Fenomena ini menegaskan bahwa pengaruh budaya tidak lagi hanya dimiliki oleh negara dengan kekuatan ekonomi besar atau sejarah panjang dalam perfilman. Dalam era digital, yang dibutuhkan adalah kemampuan membaca algoritma, menyesuaikan narasi, dan memahami psikologi penonton muda.

Dari perspektif hubungan internasional, ini menjadi bukti konkret bahwa konten mikro bisa menjadi alat diplomasi budaya yang efektif. Teori konstruktivisme menunjukkan bahwa identitas kolektif generasi muda global kini turut dibentuk oleh narasi mikrodrama baik dari nilai keluarga, perjuangan sosial, hingga estetika budaya Asia Timur.

Potensi dan Tantangan bagi Indonesia

Dominasi mikrodrama Tiongkok memunculkan pertanyaan penting, apakah Indonesia akan hanya menjadi penonton atau ikut serta dalam arena ini? Dengan potensi budaya lokal yang kaya, dan ekosistem kreatif yang mulai berkembang, Indonesia memiliki peluang untuk membangun mikrodrama lokal yang tidak hanya kompetitif secara teknis, tetapi juga bermakna secara kultural.

Namun, perlu diwaspadai pula sisi gelap dari tren ini. Mikrodrama, terutama yang dirancang untuk menciptakan kecanduan melalui alur cepat dan penuh ketegangan, bisa berdampak negatif pada kesehatan mental, terutama di kalangan remaja. Kelelahan digital, penurunan fokus, dan konsumsi impulsif adalah risiko nyata. Ini menuntut regulasi yang adaptif, serta literasi media yang kuat di masyarakat.

Kesimpulan: Menang dalam Detik-detik Kecil

Mikrodrama Tiongkok bukan sekadar bentuk hiburan baru. Ia adalah simbol dari perubahan besar dalam lanskap budaya global di mana siapa yang menguasai narasi dalam waktu singkat, memiliki peluang besar untuk memengaruhi persepsi dunia. Dalam pertarungan soft power abad ke-21, kecepatan, format, dan algoritma menjadi senjata utama.

Bagi negara-negara seperti Indonesia, fenomena ini adalah sinyal untuk segera berbenah dan berinovasi. Jika kita ingin suara budaya kita terdengar di dunia, maka kita harus siap bermain di panggung yang baru dengan lebih cepat, lebih ringkas, namun tidak kalah penting dalam membentuk masa depan budaya global.

Komentar

Berita Lainnya

Petani di wilayah Changfeng Tiongkok

Selasa, 4 Oktober 2022 14:51:7 WIB

banner
Pembalap Formula 1 asal Tiongkok Tiongkok

Selasa, 4 Oktober 2022 15:19:35 WIB

banner