Tiongkok hari ini tidak lagi hanya dikenal sebagai negara dengan kekuatan ekonomi dan militer yang terus tumbuh, melainkan juga sebagai kekuatan baru dalam bidang kesehatan dan teknologi medis. Pernyataan Ketua Komisi Kesehatan Nasional, Lei Haichao pada 11 September 2025 bahwa Tiongkok telah membangun sistem pencegahan penyakit dan perawatan medis terbesar di dunia bukanlah klaim kosong, melainkan refleksi dari perjalanan panjang reformasi kesehatan yang kini menunjukkan hasil nyata.

Dengan lebih dari 1,09 juta institusi kesehatan dan hampir 16 juta tenaga medis, serta cakupan asuransi kesehatan dasar yang menjangkau 95 persen populasi, Tiongkok menegaskan dirinya sebagai negara dengan infrastruktur kesehatan publik paling luas di dunia. Angka ini kontras dengan Amerika Serikat (AS) yang meski memiliki teknologi medis paling maju, tetap menghadapi ketimpangan akses kesehatan yang tajam, di mana puluhan juta orang masih tidak memiliki perlindungan asuransi, atau menanggung biaya pengobatan yang sangat mahal.

Salah satu capaian penting Tiongkok adalah meningkatnya harapan hidup rata-rata penduduk menjadi 79 tahun pada tahun 2024, naik dari 77,9 tahun pada tahun 2020. Namun, jika dilihat dari Hong Kong yang masih bagian dari Tiongkok dan punya angka harapan hidup rata-rata hampir 86 tahun, maka Tiongkok saat ini dapat dikategorikan sebagai negara dengan angka harapan hidup paling panjang di dunia.

 

Gambar: Harapan Hidup Penduduk Dunia

 

Angka ini tentu saja melampaui rata-rata negara-negara maju di Eropa Barat dan Jepang, bahkan lebih tinggi dibandingkan AS yang justru mengalami stagnasi dan penurunan harapan hidup dalam beberapa tahun terakhir akibat krisis opioid, ketidaksetaraan sosial, dan dampak pandemi COVID-19.

Dengan kata lain, Tiongkok berhasil menunjukkan bahwa sebuah negara dengan populasi 1,4 miliar jiwa mampu meningkatkan kesehatan rakyatnya melalui sistem kolektif, sementara negara dengan sumber daya terbesar di dunia seperti AS justru kesulitan menjaga kualitas hidup masyarakatnya akibat sistem kesehatan berbasis pasar yang tidak merata.

Namun, yang membuat transformasi kesehatan Tiongkok lebih menarik adalah strategi inovatifnya yang menggabungkan teknologi masa depan dengan warisan budaya masa lalu. Integrasi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dengan pengobatan tradisional Tiongkok (Traditional Chinese Medicine/TCM) merupakan contoh unik bagaimana sebuah negara mampu mengubah citra budaya tradisional menjadi instrumen modern yang tidak hanya bermanfaat secara medis, tetapi juga berfungsi sebagai alat diplomasi global.

Pengembangan perangkat diagnostik berbasis AI yang mampu meniru metode empat langkah TCM seperti melihat, mendengar, bertanya, dan merasakan membuktikan bahwa teknologi mutakhir bisa menjadi jembatan untuk memperluas penerimaan budaya medis Timur di panggung global.

Dari perspektif teori hubungan internasional, langkah ini sejalan dengan konsep soft power Joseph Nye, di mana pengaruh sebuah negara tidak hanya diukur dari kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga dari kemampuannya menanamkan nilai, budaya, dan gagasan yang dapat diterima negara lain.

Jika AS selama puluhan tahun mengandalkan soft power melalui budaya populer seperti Hollywood, musik, atau universitas kelas dunia, maka Tiongkok kini mencoba membangun soft power melalui diplomasi kesehatan dan kebudayaan. Integrasi AI dengan TCM menjadikan pengobatan tradisional yang dahulu dipandang mistis atau irasional di Barat kini tampil dalam wajah baru yang lebih ilmiah, terukur, dan berbasis data.

Selain itu, pendekatan ini juga selaras dengan paradigma konstruktivis dalam hubungan internasional yang menekankan pentingnya ide, identitas, dan norma. Tiongkok sedang membangun ulang identitas TCM bukan hanya sebagai warisan leluhur, melainkan sebagai bagian dari sains medis modern yang dapat bersaing di arena global. Hal ini berarti Tiongkok tidak hanya mengekspor produk medis, tetapi juga norma baru dalam melihat kesehatan bahwa pengobatan tidak hanya berbasis kimia sintetis dan intervensi invasif, tetapi juga bisa berakar pada filosofi keseimbangan tubuh dan alam yang diperkuat dengan teknologi data.

Dari sisi realisme liberal, strategi Tiongkok jelas memanfaatkan kerangka kerja sama multilateral untuk memperluas pengaruhnya. Melalui Organisasi Kerja Sama Shanghai (Shanghai Cooperation Organisation/SCO), Beijing mempromosikan TCM yang dibalut AI ke negara-negara Eurasia. Kerja sama Universitas Zhejiang Shuren dengan akademisi Belarus, dan keberadaan pusat TCM di Uzbekistan yang telah melayani ribuan pasien lokal, menunjukkan bahwa Tiongkok menggunakan teknologi kesehatan sebagai instrumen untuk memperkuat jejaring regionalnya.

Ini bukan hanya tentang kesehatan, melainkan juga tentang mempererat ketergantungan antarnegara, di mana negara mitra tidak hanya menjadi konsumen obat atau perangkat medis Barat, tetapi juga mulai melihat Tiongkok sebagai penyedia solusi alternatif.

Jika dibandingkan dengan AS, terlihat perbedaan pendekatan yang mencolok. AS lebih banyak mempromosikan sistem medis berbasis paten, korporasi farmasi besar, dan standar biomedis Barat yang mahal dan sulit dijangkau oleh negara-negara berkembang. Vaksin Pfizer dan Moderna, misalnya, pada masa pandemi COVID-19 sempat dikritik karena harganya yang tinggi dan distribusinya yang lebih banyak menyasar negara-negara kaya.

Sebaliknya, Tiongkok dengan Sinovac dan Sinopharm melakukan vaksin diplomasi ke banyak negara berkembang, termasuk di Asia Tenggara dan Afrika. Strategi yang sama kini diterapkan dalam bidang TCM dan AI, di mana Tiongkok menawarkan akses lebih murah, lebih mudah dipahami, dan sekaligus membawa nilai budaya yang khas.

Selain itu, keberadaan Boao Hope City di Hainan sebagai zona pariwisata medis internasional semakin memperkuat posisi Tiongkok sebagai hub inovasi kesehatan global. Dengan membuka akses terhadap obat-obatan dan perangkat medis mutakhir yang bahkan belum tersedia di pasar domestik, Tiongkok menjadikan Boao sebagai pintu gerbang internasional yang mempercepat aliran teknologi medis ke dalam negeri sekaligus memperkenalkannya ke dunia luar.

Lebih dari 30 perusahaan farmasi global telah bergabung di sana, termasuk dalam memamerkan alat pacu jantung mini yang mampu memperpanjang harapan hidup pasien hingga 17 tahun. Langkah ini membuktikan bahwa Tiongkok tidak menutup diri dari dunia, melainkan menjadikan dirinya sebagai pusat integrasi antara inovasi domestik dengan teknologi internasional.

Tentu saja keberhasilan ini tidak lepas dari tantangan. Validitas ilmiah TCM masih menjadi perdebatan di dunia medis Barat, dan meskipun AI dapat membantu meningkatkan objektivitas, tanpa uji klinis internasional yang ketat, TCM akan tetap dianggap sebagai metode alternatif alih-alih standar medis global. Tantangan lain adalah isu privasi dan keamanan data, mengingat penggunaan AI dalam kesehatan akan melibatkan data medis sensitif yang bila jatuh ke tangan asing dapat menimbulkan risiko geopolitik. Barat sering menyoroti aspek ini sebagai kelemahan Tiongkok, apalagi di tengah rivalitas teknologi antara Washington dan Beijing.

Namun terlepas dari tantangan itu, tren global mulai menunjukkan bahwa diplomasi kesehatan akan menjadi medan baru persaingan antarnegara. Seperti halnya Korea Selatan yang sukses membangun soft power melalui K-pop dan drama, Tiongkok pun berusaha menciptakan “Health Diplomacy” dengan menggabungkan inovasi medis dan warisan budaya.

Inilah arena baru yang mungkin lebih berpengaruh dibandingkan sekadar adu militer atau ekonomi. Sebab kesehatan menyentuh kebutuhan paling dasar umat manusia, dan negara yang mampu menyediakan solusi kesehatan terjangkau sekaligus inovatif akan mendapat legitimasi moral yang sangat besar di dunia internasional.

Bagi Barat, khususnya AS, langkah Tiongkok ini menimbulkan dilema. Di satu sisi, Barat tidak bisa menolak inovasi medis berbasis teknologi, apalagi jika negara-negara berkembang menyambut baik dan merasa terbantu. Di sisi lain, jika TCM berbasis AI benar-benar mendapatkan legitimasi internasional, maka dominasi epistemik Barat dalam dunia medis yang selama ini bertumpu pada biomedis modern akan terancam. Dengan kata lain, Tiongkok bukan hanya menantang dominasi ekonomi atau militer Barat, tetapi juga hegemoni pengetahuan yang selama ini menjadi basis kekuatan budaya dan teknologi AS serta Eropa.

Oleh karena itu, apa yang dilakukan Tiongkok saat ini patut dipandang sebagai strategi besar yang sangat cerdas. Dengan menggabungkan sistem kesehatan nasional terbesar, integrasi AI dengan TCM, dan platform internasional seperti Boao Hope City, Beijing sedang menciptakan ekosistem kesehatan yang tidak hanya melayani rakyatnya, tetapi juga mengekspor narasi baru tentang bagaimana kesehatan, teknologi, dan budaya bisa saling memperkuat. Dalam kacamata geopolitik, inilah bentuk perang narasi yang lebih halus dibandingkan unjuk kekuatan militer, tetapi bisa jadi lebih efektif dalam jangka panjang.

Jika AS masih mengandalkan kekuatan dolar dan kekuatan senjata sebagai instrumen utamanya, Tiongkok kini melangkah lebih jauh dengan menggunakan kesehatan sebagai bahasa universal yang mampu menyentuh semua bangsa tanpa memandang ideologi atau blok politik. Dan mungkin di sinilah letak perbedaan paling mendasar antara Tiongkok dan Barat, yang mana ketika Barat berusaha mempertahankan dominasi melalui struktur lama, Tiongkok justru membangun pengaruh melalui inovasi naratif yang berakar pada identitas nasional namun dikemas dengan teknologi masa depan.

Dengan demikian, integrasi AI, TCM, dan platform kesehatan global bukan hanya sekadar kebijakan teknis kesehatan, melainkan strategi geopolitik yang sedang mendefinisikan ulang hubungan internasional abad ke-21. Dan dunia sedang menyaksikan bagaimana sebuah negara yang dahulu dianggap dunia ketiga kini mampu menjadi penantang serius tidak hanya bagi ekonomi, tetapi juga bagi standar peradaban Barat.