
Minggu, 31 Agustus 2025 23:44:45 WIB
Opini: Saat AI dan Pengobatan Tradisional Berpadu, Tiongkok Membangun Kekuatan Global Lewat Budaya dan Teknologi
Kesehatan
Muhammad Rizal Rumra

Seorang pasien menjalani pemeriksaan kesehatan menggunakan robot AI berbasis traditional Chinese medicine (TCM) di sebuah pameran layanan kesehatan
Di tengah cepatnya perkembangan teknologi dan persaingan antarnegara dalam memperluas pengaruh global, Tiongkok menunjukkan pendekatan yang semakin inovatif. Bukan lagi sekadar melalui kekuatan militer atau ekonomi, melainkan melalui strategi yang lebih halus namun efektif, yaitu menggabungkan teknologi kecerdasan buatan (Artificial intelligence/AI) dengan warisan budaya tradisionalnya, yaitu pengobatan tradisional Tiongkok (Traditional Chinese Medicine/TCM).
Inovasi ini bukan sekadar kemajuan dalam dunia medis, melainkan juga merupakan langkah strategis dalam membangun soft power Tiongkok di panggung global, khususnya di kawasan Eurasia melalui Organisasi Kerja Sama Shanghai (Shanghai Cooperation Organization/SCO).
Baru-baru ini, sekelompok peneliti di Hangzhou, pusat pengembangan AI di Provinsi Zhejiang, mengembangkan peralatan diagnostik bertenaga AI yang mampu meniru metode empat langkah diagnostik utama dalam TCM, yakni melihat, mendengar, bertanya, dan merasakan. Perangkat ini dikembangkan melalui kolaborasi antara Universitas Zhejiang Shuren dan perusahaan teknologi lokal Congbao Technology.
Peralatan ini bukan hanya dapat menganalisis kondisi pasien dengan objektivitas yang lebih tinggi, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menyimpan dan menganalisis data dalam skala besar. Dengan waktu penyelesaian diagnosis antara tiga hingga empat menit, perangkat ini memang belum lebih cepat dari dokter manusia, namun menawarkan nilai tambah berupa akurasi, efisiensi data, dan potensi untuk personalisasi pengobatan dalam konteks global.
Integrasi teknologi canggih ke dalam sistem pengobatan tradisional ini mempermudah ekspor TCM ke negara-negara yang sebelumnya sulit dijangkau karena perbedaan budaya dan bahasa. Sebagaimana diungkapkan oleh CEO Congbao Technology, AI menjadi jembatan yang mempermudah pemahaman negara-negara seperti Belarus terhadap konsep dan filosofi TCM yang pada dasarnya sangat berbeda dari pendekatan medis Barat.
Ini menjadi relevan terutama dalam konteks kerja sama internasional. Universitas Zhejiang Shuren, misalnya, telah menjalin kemitraan dengan akademisi di Belarus untuk memperkenalkan teknologi ini ke rumah-rumah sakit nasional di Minsk dan kota-kota lainnya. Tanggapan masyarakat pun positif, yang mana pemahaman terhadap TCM meningkat dan penggunaannya semakin meluas.
Fenomena ini menarik jika dilihat melalui kacamata teori hubungan internasional. Dalam perspektif soft power seperti yang dikemukakan Joseph Nye, Tiongkok sedang membangun pengaruhnya bukan dengan paksaan atau imbalan ekonomi semata, tetapi dengan mempromosikan nilai dan budayanya melalui pendekatan teknologi yang diterima luas oleh dunia modern. TCM, yang dulunya dianggap tradisional dan bahkan mistis, kini mulai dipersepsikan sebagai bagian dari sains modern berkat dukungan AI. Hal ini merupakan bentuk rebranding budaya nasional Tiongkok dalam konteks global.
Dalam teori realisme liberal, kolaborasi antara institusi pendidikan tinggi, perusahaan teknologi, dan pemerintah Tiongkok dengan negara-negara anggota SCO menunjukkan upaya membangun jaringan kerja sama yang saling menguntungkan. Tiongkok secara cermat memanfaatkan platform multilateral seperti SCO bukan hanya untuk keamanan, tetapi juga untuk memperkuat hubungan ekonomi, budaya, dan teknologi.
Pusat TCM yang beroperasi di Uzbekistan misalnya, telah melayani 15.000 pasien dan melatih lebih dari 500 tenaga medis lokal. Hal ini menunjukkan bahwa Tiongkok berhasil mengintegrasikan pendekatan budaya dan teknologi ke dalam strategi kebijakan luar negeri yang lebih komprehensif dan bertahan lama.
Jika kita melihat lebih jauh, pendekatan ini juga bisa dianalisis melalui paradigma konstruktivis dalam hubungan internasional. TCM tidak hanya dipromosikan sebagai metode pengobatan, tetapi juga sebagai identitas budaya yang sedang dikonstruksi ulang dalam konteks globalisasi.
Melalui AI, Tiongkok sedang membentuk persepsi baru bahwa TCM bukan hanya warisan leluhur, melainkan juga solusi medis masa depan yang berbasis data, analitik, dan teknologi tinggi. Perubahan persepsi ini sangat penting dalam membentuk norma dan nilai baru di komunitas internasional yang mulai terbuka terhadap pengobatan alternatif berbasis budaya Timur.
Namun, keberhasilan ini bukan tanpa tantangan. Meski AI dapat meningkatkan objektivitas dalam diagnosis, validitas ilmiah dari banyak aspek TCM masih menjadi perdebatan di dunia medis Barat. Untuk menjadikan TCM sebagai standar pengobatan global, diperlukan uji klinis yang ketat, transparansi data, dan kolaborasi dengan komunitas ilmiah internasional.
Selain itu, penggunaan AI dalam layanan kesehatan lintas negara juga menimbulkan kekhawatiran tentang privasi dan keamanan data medis, terutama ketika data tersebut dikelola oleh entitas asing. Di tengah ketegangan geopolitik dan persaingan teknologi antara Tiongkok dan negara-negara Barat, isu ini bisa menjadi sorotan yang sensitif.
Meski demikian, strategi Tiongkok ini sejalan dengan tren global baru yang mulai mengedepankan diplomasi kesehatan sebagai instrumen penting hubungan antarnegara. Seperti halnya Korea Selatan yang mempromosikan budayanya melalui gelombang Hallyu seperti K-pop, K-drama, kuliner, dan lain sebagainya.
Tiongkok pun demikian mulai mempromosikan TCM sebagai bagian dari diplomasi budayanya yang didukung oleh teknologi mutakhir. Hal serupa juga terlihat pada strategi vaksin diplomasi Tiongkok selama pandemi COVID-19, di mana pemberian vaksin Sinovac dan Sinopharm ke berbagai negara menjadi bagian dari perluasan pengaruh luar negeri.
Pada akhirnya, integrasi AI dan TCM adalah gambaran nyata dari bagaimana Tiongkok menggabungkan warisan tradisional dengan teknologi masa depan untuk membangun pengaruh globalnya. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat posisi Tiongkok sebagai pemimpin teknologi, tetapi juga memperluas jangkauan budaya dan identitas nasionalnya di mata dunia.
Bagi negara-negara lain, terutama di kawasan berkembang, strategi ini memberikan inspirasi sekaligus tantangan apakah akan mengikuti langkah serupa dalam mengembangkan diplomasi teknologi dan budaya, ataukah bersiap bersaing dalam arena baru yang kini tidak lagi hanya ditentukan oleh kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga oleh kemampuan menciptakan narasi, inovasi, dan pengaruh global yang berakar dari identitas nasional masing-masing.
Komentar
Berita Lainnya
Singapura dihadang subvarian Omicron baru yakni XBB Yang kembali meningkat hingga melampaui 9 ribu kasus per hari Kesehatan
Senin, 17 Oktober 2022 10:23:40 WIB

Presiden RI Joko Widodo mengatakan pandemi COVID-19 tidak hanya menjadi masalah kesehatan global yang besar Kesehatan
Senin, 17 Oktober 2022 13:43:44 WIB

Tidak jarang beredar mitos terkait penyebab kanker payudara pada wanita Kesehatan
Selasa, 18 Oktober 2022 9:49:9 WIB

Terkait laporan adanya 192 kasus gagal ginjal akut misterius di Indonesia Kesehatan
Rabu, 19 Oktober 2022 8:56:53 WIB

Dalam upaya menangani kasus gagal ginjal akut pada anak Kesehatan
Rabu, 26 Oktober 2022 16:21:29 WIB

Banyak orang merasa menurunkan berat badan begitu sulit Memutuskan apa yang harus dimasak setiap hari juga sulit Kesehatan
Minggu, 6 November 2022 7:42:35 WIB

Delta Sungai Yangtze kini menjadi salah satu pusat ekonomi di Tiongkok Kesehatan
Sabtu, 27 Agustus 2022 1:59:36 WIB