Kamis, 26 Juni 2025 18:56:56 WIB

Dari Fiksi Ilmiah ke Strategi Nasional: Tiongkok Menantang Dominasi Teknologi AS dan Barat melalui Robot Humanoid?
Teknologi

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Dua robot humanoid bertarung dalam ajang Mech Combat Arena di Hangzhou, Tiongkok (CGTN/CMG)

Peluncuran kompetisi pertarungan robot humanoid pertama di dunia oleh China Media Group (CMG) di Kota Hangzhou, Provinsi Zhejiang, Tiongkok, bukan sekadar peristiwa teknologi atau hiburan. Ajang yang diberi nama Mech Combat Arena Competition ini merupakan bagian dari World Robot Competition Series CMG yang lebih luas, dan menjadi representasi penting dari bagaimana Tiongkok mengintegrasikan inovasi teknologi canggih ke dalam narasi kekuatan nasional serta proyeksi pengaruh globalnya.

Pertarungan robot-robot humanoid yang digerakkan oleh Kecerdasan Buatan (AI) dan dikoreografi layaknya seni bela diri manusia bukan hanya menunjukkan kemajuan teknik dalam perencanaan gerak dan keseimbangan waktu nyata, tetapi juga membuktikan keberhasilan kolaborasi multidisipliner antara insinyur, petarung profesional, pengembang AI, serta sektor media dan kebijakan.

Dari sudut pandang hubungan internasional, fenomena ini dapat dibaca melalui beberapa paradigma. Realisme struktural (neorealisme) melihat teknologi sebagai bagian dari kapabilitas strategis suatu negara dalam sistem internasional yang bersifat anarkis. Negara-negara bersaing tidak hanya dalam militer atau ekonomi, tetapi juga dalam penguasaan teknologi tinggi yang bersifat disruptif, seperti AI dan robotika.

Dalam konteks ini, Tiongkok menggunakan pertunjukan robot humanoid bukan hanya untuk menunjukkan kecanggihan teknologinya, tetapi juga sebagai sinyal simbolik bahwa ia mampu bersaing dan bahkan mendahului kekuatan besar lain seperti Amerika Serikat (AS) di bidang teknologi masa depan. Teknologi dalam hal ini menjadi bentuk baru dari kekuatan keras (hard power), karena ia bisa diadaptasi untuk sektor industri, keamanan, bahkan pertahanan.

Namun, bila dilihat dari perspektif liberalisme institusional, kompetisi ini menunjukkan kekuatan lain yang lebih subtil yaitu kolaborasi antara berbagai aktor domestik dalam membangun ekosistem inovasi. Pemerintah Provinsi Zhejiang misalnya, telah merancang rencana aksi 2024 untuk mendorong pengembangan robotika humanoid secara lintas sektor, mencakup pendidikan, industri, dan teknologi.

Ajang seperti ini bukan hanya menjadi panggung pameran teknologi, tetapi juga berfungsi sebagai sarana diseminasi pengetahuan ilmiah kepada publik luas, termasuk kalangan muda yang tertarik pada Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM). Kolaborasi lintas disiplin antara pelatih bela diri dan insinyur dalam mengembangkan gerakan realistis robot juga menunjukkan pendekatan interdisipliner khas ekosistem inovasi kontemporer.

Lebih jauh, narasi keberhasilan kompetisi ini menegaskan kemampuan Tiongkok dalam menggunakan teknologi sebagai alat soft power, sebagaimana dipahami dalam teori Joseph Nye. Respons positif dari media di Taiwan, pujian dari pemuda Taipei, hingga antusiasme penonton internasional di platform seperti YouTube CGTN menunjukkan bagaimana inovasi tinggi yang sebelumnya hanya menjadi bagian dari fiksi ilmiah kini menjadi tontonan nyata yang mudah diakses, dipahami, dan diapresiasi oleh masyarakat global.

Tayangan robot yang mampu menendang, menghindar, bahkan bertarung seperti manusia telah mengubah persepsi publik global mengenai kapabilitas teknologi Tiongkok. Dengan kata lain, Tiongkok telah berhasil membingkai teknologi sebagai bagian dari daya tarik budaya dan kecanggihan sipil, mirip dengan bagaimana Hollywood digunakan AS untuk membangun citra globalnya.

Namun, kompetisi ini bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Ia merupakan kelanjutan dari rangkaian inovasi yang telah dipertontonkan secara progresif, seperti lomba lari robot humanoid di Beijing pada April lalu, di mana robot Tiangong Ultra berhasil menyelesaikan setengah maraton sejauh 21 kilometer dalam waktu kurang dari tiga jam.

Walaupun masih bersifat eksperimental dan kolaboratif, perkembangan ini mempertegas bahwa teknologi robot humanoid memiliki potensi besar dalam aplikasi nyata, mulai dari perawatan lansia, operasi di lingkungan berbahaya, hingga otomatisasi industri. Dalam konteks geopolitik, keberhasilan Tiongkok mengembangkan dan mengkomersialkan teknologi robot humanoid secara masif mempertegas proyeksi bahwa negara ini akan menjadi produsen lebih dari 10.000 robot humanoid pada tahun 2025 dan menguasai lebih dari separuh pasar global.

Capaian ini sejalan dengan berbagai strategi nasional Tiongkok seperti “Made in China 2025” dan “Next Generation Artificial Intelligence Development Plan” yang menargetkan kepemimpinan di sektor strategis teknologi masa depan. Jika dicermati lebih dalam, ini bukan hanya bagian dari rencana industrialisasi lanjutan, tetapi juga strategi jangka panjang Tiongkok untuk membentuk tatanan internasional baru berbasis teknologi, di mana ia menjadi pengatur standar, bukan hanya pengikut.

Namun demikian, kemajuan pesat ini juga memunculkan tantangan besar yang tidak bisa diabaikan. Pertama, regulasi etika dan hukum internasional terkait robotika dan AI masih tertinggal jauh dari laju inovasi. Kedua, ada risiko munculnya techno-nationalism dan perlombaan senjata AI (AI arms race), terutama jika pengembangan teknologi ini mulai bersinggungan dengan sektor pertahanan dan keamanan. Ketiga, kesenjangan global dalam kemampuan teknologi antara negara maju dan berkembang bisa semakin melebar, menimbulkan ketimpangan baru dalam distribusi kapabilitas dan peluang ekonomi.

Melalui pendekatan konstruktivisme dalam hubungan internasional, dapat dikatakan bahwa bagaimana komunitas global membingkai, merespons, dan mengatur perkembangan teknologi ini akan sangat menentukan bentuk masa depan dari tatanan dunia yang berbasis pada AI dan robotika.

Jika dibingkai sebagai kompetisi zero-sum antar negara, maka kemungkinan besar akan muncul fragmentasi dan ketegangan geopolitik. Namun jika dimaknai sebagai peluang kolaboratif global untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, maka robot humanoid dapat menjadi simbol dari era peradaban teknologi yang inklusif dan etis.

Oleh karena itu, kompetisi robot humanoid di Hangzhou bukan hanya sebuah tontonan futuristik, melainkan cermin dari transisi peran Tiongkok dalam sistem internasional kontemporer dari kekuatan manufaktur menjadi pemimpin teknologi global. Robot-robot itu memang sedang bertarung di arena, tetapi sesungguhnya mereka juga sedang mewakili negara dalam kontestasi geopolitik abad ke-21 yang kini bergeser dari senjata konvensional menuju algoritma, sensor, dan AI. Makanya dalam kontestasi ini, Tiongkok menunjukkan bahwa ia tidak hanya siap bertanding tetapi juga siap memimpin.

Komentar

Berita Lainnya