Selasa, 24 Juni 2025 18:57:19 WIB

Tiongkok Ubah Polusi Jadi "Makanan" : Inovasi Radikal yang Bisa Guncang Industri Pangan Global
Tiongkok

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Gambar: Stasiun luar angkasa Tiangong, tempat eksperimen ubah karbon dioksida jadi oksigen dan makanan

Tiongkok telah lama dikenal sebagai kekuatan besar dalam bidang inovasi dan teknologi. Mereka kembali buat terobosan dengan meluncurkan proyek ambisius yang menarik perhatian dunia yaitu eksperimen fotosintesis buatan yang dilakukan di Stasiun Luar Angkasa Tiangong. Proyek ini bertujuan untuk mengubah karbon dioksida menjadi oksigen dan bahkan makanan, yang nantinya bisa digunakan oleh para astronot dalam misi panjang ke luar angkasa. Meskipun terdengar seperti skenario fiksi ilmiah, eksperimen ini berpotensi menjadi terobosan besar dalam mengatasi krisis iklim dan ketahanan pangan global.

Eksperimen yang dilakukan di luar angkasa ini melibatkan teknologi canggih untuk meniru proses fotosintesis yang terjadi pada tanaman. Namun, dalam eksperimen ini, proses tersebut tidak melibatkan daun atau batang tanaman. Alih-alih, teknologi ini menggunakan mesin super canggih yang memanfaatkan sinar matahari, air, dan karbon dioksida untuk menghasilkan oksigen dan makanan padat bergizi. Jika sukses, teknologi ini bisa memproduksi oksigen yang diperlukan untuk pernapasan astronot dan makanan bergizi yang dibutuhkan dalam misi luar angkasa jangka panjang, sebuah solusi potensial yang memungkinkan manusia bertahan hidup tanpa harus mengandalkan suplai dari Bumi.

Lebih dari sekadar eksperimen untuk bertahan hidup di luar angkasa, proyek ini juga membawa harapan besar bagi planet kita. Penggunaan karbon dioksida, yang selama ini dianggap sebagai polutan penyebab pemanasan global malah bisa menjadi bahan baku untuk menghasilkan oksigen dan makanan, berpotensi merevolusi cara kita memandang gas rumah kaca.

Sebagai negara dengan komitmen besar dalam menangani perubahan iklim, Tiongkok telah mengimplementasikan berbagai langkah untuk menyerap hampir 400 juta ton karbon dioksida setiap tahun, melalui proyek hijau dan penanaman pohon. Dengan eksperimen fotosintesis buatan ini, Tiongkok bisa menjadi pionir dalam menciptakan solusi teknologi yang tidak hanya mengurangi emisi karbon, tetapi juga mengubah gas buangan tersebut menjadi sumber daya yang berguna. Dalam skala yang lebih besar, teknologi ini bisa mempercepat transisi menuju ekonomi karbon sirkular, di mana gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global justru diubah menjadi bahan baku yang bisa dimanfaatkan.

Krisis pangan global menjadi salah satu masalah besar yang turut mendorong eksperimen ini. Perubahan iklim, urbanisasi yang pesat, dan pola konsumsi yang tidak berkelanjutan membuat ketahanan pangan menjadi tantangan yang semakin berat. Dengan mengubah karbon dioksida menjadi protein yang bergizi, teknologi ini bisa memberikan solusi alternatif yang murah, cepat, dan ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan pangan di masa depan. Konsep ini bisa menjadi revolusi dalam dunia pangan, menggantikan metode produksi yang lebih konvensional, yang sering kali tidak ramah lingkungan dan bergantung pada sumber daya alam yang terbatas.

Namun, tidak hanya Tiongkok yang menghadapi tantangan besar dalam hal ketahanan pangan dan pengurangan emisi karbon. Amerika Serikat (AS), sebagai salah satu negara dengan sektor pertanian terbesar dan tingkat emisi karbon yang tinggi, juga berhadapan dengan masalah yang sama. Hanya saja, AS lebih dikenal dengan inovasi dalam bidang energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, serta solusi berbasis pasar untuk mengurangi emisi karbon, sedangkan eksperimen seperti yang dilakukan Tiongkok ini belum menjadi fokus utama di sana.

Sementara Tiongkok mengedepankan pendekatan yang lebih berani dan berbasis teknologi mutakhir, AS lebih cenderung mengandalkan pengembangan solusi energi bersih dan teknologi pasar. Walaupun demikian, proyek ini bisa menjadi inspirasi bagi AS untuk mempercepat riset dalam bioteknologi dan keberlanjutan pangan, terutama dalam menghadapi krisis pangan dan iklim yang semakin mendesak.

Seiring dengan potensi besar yang ditawarkan oleh eksperimen fotosintesis buatan ini, ada sejumlah pertanyaan etika dan risiko yang tidak bisa diabaikan. Salah satunya adalah ketergantungan pada teknologi yang masih dalam tahap eksperimen. Apakah kita siap untuk bergantung pada solusi yang belum terbukti sepenuhnya efektif dalam menghadapi tantangan besar seperti ketahanan pangan dan perubahan iklim?

Selain itu, meskipun teknologi ini berpotensi mengurangi emisi karbon secara signifikan, kita juga harus berhati-hati dalam mengontrol dampaknya terhadap ekosistem Bumi. Teknologi semacam ini, meskipun menjanjikan, harus dikelola dengan bijak agar tidak menimbulkan masalah baru di masa depan.

Namun jika eksperimen ini berhasil, kita dapat membayangkan sebuah perubahan signifikan dalam cara kita memproduksi pangan dan energi dalam lima dekade mendatang. Di masa depan, generasi yang akan datang mungkin akan mempertanyakan cara-cara produksi pangan yang dilakukan saat ini, misalnya, dengan menanyakan, "Apakah dulu ayam itu berasal dari hewan ?" Sebagai respons, kita mungkin akan menjelaskan, “Dulu memang demikian. Sekarang, kita cukup menghirup udara untuk mendapatkan bahan pangan.”

Teknologi ini, meskipun terlihat seperti konsep futuristik, memiliki potensi untuk merevolusi paradigma kita dalam melihat bahan baku produksi pangan dan energi. Dengan demikian, eksperimen ini membuka kemungkinan bagi terciptanya era baru di mana inovasi berbasis pada keberlanjutan dan efisiensi sumber daya alam dapat mewujud menjadi kenyataan.

Melihat hal ini dari perspektif global, perbandingan antara Tiongkok dan AS bukan hanya soal siapa yang lebih dulu dalam menciptakan inovasi, tetapi lebih kepada siapa yang bisa menghasilkan solusi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Tiongkok telah menunjukkan keberanian dalam mengeksplorasi solusi ekstrem, seperti mengubah atmosfer menjadi sumber daya.

Sementara, AS lebih fokus pada pengembangan solusi berbasis pasar dan teknologi terbarukan. Masing-masing negara memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks, dan kerjasama antara kedua negara ini bisa menciptakan dampak yang lebih besar untuk generasi mendatang.

Namun, meskipun sains dan teknologi menawarkan banyak solusi, kita juga harus ingat bahwa upaya terbesar dalam mengatasi perubahan iklim dan krisis pangan tidak hanya bergantung pada teknologi. Kesadaran kolektif dan perubahan gaya hidup kita sebagai individu dan masyarakat global tetap menjadi faktor kunci yang menentukan keberhasilan kita dalam menghadapi tantangan ini. Benar bahwa sains dan teknologi bisa mempercepat solusi, tetapi pada akhirnya tindakan kolektif dan kebijakan global yang bijaksana akan menjadi penentu utama dalam menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan.

Komentar

Berita Lainnya

Petani di wilayah Changfeng Tiongkok

Selasa, 4 Oktober 2022 14:51:7 WIB

banner
Pembalap Formula 1 asal Tiongkok Tiongkok

Selasa, 4 Oktober 2022 15:19:35 WIB

banner