Bharata Online - Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) bukan sekadar kisah pembangunan infrastruktur, melainkan cermin dari arah baru geopolitik dan ekonomi Asia. Di balik rel baja yang membentang dari Halim ke Tegalluar, tersimpan dinamika besar: bagaimana Tiongkok menegaskan pengaruh globalnya melalui diplomasi teknologi, dan bagaimana Indonesia menapaki jalan modernitas dengan segala dilema sosial, fiskal, dan politik yang menyertainya.

Sejak diletakkan batu pertamanya oleh Presiden Joko Widodo pada Januari 2016, proyek ini telah menjadi simbol ambisi nasional untuk naik kelas — dari negara berkembang yang bergantung pada infrastruktur kolonial menuju bangsa modern yang mampu menandingi negara maju. Whoosh adalah lambang dari apa yang disebut ilmuwan politik Joseph Nye sebagai soft power baru: kekuatan yang bukan datang dari militer, melainkan dari daya tarik teknologi, investasi, dan kolaborasi ekonomi.

Namun berbeda dengan Jepang atau Barat yang sering menyertai bantuan mereka dengan syarat politik dan ekonomi ketat, Tiongkok hadir dengan model kerja sama yang lebih fleksibel dan pragmatis. Skema business-to-business (B2B) antara konsorsium BUMN Indonesia dan China Railway International pada awalnya menjanjikan kemandirian fiskal, di mana proyek dibiayai tanpa jaminan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Model ini sejalan dengan semangat Belt and Road Initiative (BRI), yakni membuka peluang pembangunan bersama tanpa dominasi sepihak.

Meski kenyataannya kemudian menghadapi pembengkakan biaya dan penyesuaian pendanaan, pola kerja sama ini tetap menjadi laboratorium penting bagi Indonesia dalam memahami mekanisme diplomasi ekonomi Tiongkok. Kenaikan biaya dari Rp86 triliun menjadi lebih dari Rp113 triliun memang memunculkan perdebatan keras, tetapi jika ditelusuri lebih dalam, kenaikan itu disebabkan oleh faktor rasional: revisi desain, pandemi, dan perubahan nilai tukar — bukan semata kesalahan manajemen. Dalam perspektif teori interdependence liberalism yang dikemukakan Robert Keohane, ketergantungan ekonomi antara negara justru menciptakan stabilitas jangka panjang, karena kedua pihak memiliki insentif bersama untuk menjaga keberlangsungan proyek.

Bagi Tiongkok, keberhasilan Whoosh adalah bukti keberhasilan strategi technological statecraft — penggunaan teknologi canggih sebagai alat diplomasi. Dalam dua tahun operasi, Whoosh telah melayani lebih dari 11 juta penumpang dan menurunkan waktu tempuh Jakarta–Bandung menjadi 36 menit. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi bukti transformasi logistik dan produktivitas ekonomi di kawasan metropolitan terbesar Asia Tenggara. Pernyataan juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok bahwa proyek ini menciptakan lapangan kerja luas dan meningkatkan konektivitas regional bukanlah propaganda kosong; ini realitas yang dapat dirasakan masyarakat sekitar jalur rel, dari Walini hingga Padalarang.

Tentu, kritik terhadap pembiayaan dan utang tidak bisa diabaikan. Pengamat ekonomi seperti Bhima Yudhistira dan Rizal Taufikurrahman menyoroti risiko beban APBN dan potensi moral hazard bila proyek komersial diselamatkan oleh negara. Namun, jika kita menggunakan paradigma developmental state seperti dijelaskan oleh Chalmers Johnson, negara-negara Asia Timur berhasil maju justru karena pemerintah berperan aktif dalam pembangunan strategis yang berdampak jangka panjang, meskipun harus menanggung beban fiskal sementara. Jepang, Korea Selatan, bahkan Singapura pada dekade 1970–1980-an menghadapi dilema serupa. Dalam konteks itu, pembiayaan sebagian proyek Whoosh melalui APBN bukanlah bentuk kegagalan, melainkan strategi negara untuk memastikan proyek vital tetap hidup.

Presiden Prabowo Subianto memahami hal itu dengan baik ketika menegaskan bahwa transportasi publik tak bisa diukur dengan logika untung-rugi semata. Pernyataannya bahwa “Whoosh adalah tanggung jawab pemerintah dan manfaatnya jauh melebihi biayanya” sejalan dengan konsep public service obligation yang diterapkan di seluruh dunia. Kereta cepat bukanlah produk komersial, melainkan infrastruktur sosial yang membawa efek berganda: mengurangi polusi, kemacetan, dan mendorong integrasi ekonomi wilayah barat Jawa. Dalam pandangan realism konstruktif, kebijakan seperti ini memperkuat posisi negara sebagai aktor rasional yang memadukan kepentingan nasional dan kemaslahatan publik.

Dari sisi hubungan internasional, proyek Whoosh memperlihatkan bagaimana Tiongkok mampu menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan kepercayaan politik. Selama ini, kritik Barat terhadap BRI sering berpusat pada tuduhan “debt trap diplomacy” — jebakan utang. Namun dalam kasus Indonesia, narasi ini terbantahkan. Tidak ada dominasi politik atau intervensi kedaulatan, bahkan pemerintah Indonesia tetap menjadi pengendali utama melalui konsorsium KCIC yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh BUMN nasional. Tiongkok menunjukkan sikap kooperatif, terbuka untuk restrukturisasi pinjaman, dan mendukung negosiasi ulang tenor serta bunga melalui mekanisme diplomatik yang setara. Pernyataan terbaru dari pihak China bahwa mereka “siap bekerja sama untuk memastikan operasi berkualitas tinggi” memperkuat citra baru Beijing sebagai mitra yang adaptif, bukan hegemon.

Luhut Binsar Pandjaitan dan Erick Thohir, dua figur yang menjadi jembatan diplomasi ekonomi Indonesia–Tiongkok, berulang kali menegaskan bahwa keberhasilan Whoosh tidak boleh dinilai semata dari angka keuangan, tetapi dari nilai strategis dan transfer teknologi yang dihasilkan. Dalam jangka panjang, kemampuan Indonesia membangun dan mengoperasikan sistem kereta cepat sendiri akan menjadi fondasi bagi proyek lanjutan — seperti rencana perpanjangan rute hingga Surabaya dan Banyuwangi. Jika itu terwujud, maka Indonesia akan menjadi tulang punggung konektivitas Asia Tenggara, menghubungkan kawasan ekonomi baru dari barat ke timur.

Dari sisi sosial, memang benar proyek ini sempat menimbulkan friksi — relokasi warga, perubahan tata ruang, dan ketimpangan akses bagi kelompok ekonomi bawah. Namun jika ditarik dalam konteks teori social modernization, pembangunan besar selalu menuntut adaptasi sosial yang tidak selalu mulus. Yang penting adalah bagaimana negara menata kembali keseimbangan itu. Dengan meningkatnya akses kerja lokal, pertumbuhan kawasan transit-oriented development (TOD), dan peluang bisnis baru di sekitar stasiun, manfaat sosialnya kini mulai dirasakan secara konkret.

Secara filosofis, proyek Whoosh adalah contoh nyata eksperimen sosial seperti yang dijelaskan John Dewey: kebijakan publik diuji bukan lewat retorika, tetapi melalui kegunaan riil bagi masyarakat. Sementara dalam logika W.V.O. Quine, koherensi kebijakan diuji dari konsistensi antara janji, praktik, dan hasil. Dalam dua lensa itu, proyek ini masih menghadapi ujian, tetapi juga menunjukkan pembelajaran penting. Pemerintah kini lebih berhati-hati dalam menjaga transparansi fiskal dan lebih terbuka dalam komunikasi publik — langkah yang menunjukkan kematangan epistemik negara dalam mengelola proyek strategis.

Lebih jauh, dalam konteks global, Whoosh memperlihatkan arah baru geopolitik Asia — pergeseran kekuatan teknologi dari Barat ke Timur. Ketika negara-negara Barat sibuk dengan perang tarif dan proteksi industri, Tiongkok justru memperkuat posisinya melalui kerja sama nyata di lapangan. Proyek seperti Whoosh menjadi bagian dari diplomasi konstruktif Beijing untuk membangun tatanan dunia multipolar yang lebih seimbang. Indonesia, melalui proyek ini, tidak jatuh dalam “jebakan Tiongkok”, melainkan memanfaatkan momentum kebangkitan Tiongkok untuk mempercepat transformasi nasionalnya sendiri.

Jika kita kembali ke prinsip dasar hubungan internasional — bahwa kekuatan sejati negara bukan diukur dari seberapa banyak ia menaklukkan, tetapi seberapa besar ia mampu berkolaborasi — maka Whoosh adalah bukti bahwa kolaborasi Timur–Tengah (Asia Timur dan Asia Tenggara) kini menjadi kekuatan baru dunia. Proyek ini adalah simbol bahwa kemajuan teknologi tidak harus bersumber dari Barat, dan bahwa bangsa Asia mampu membangun masa depannya dengan tangannya sendiri.

Maka, terlepas dari polemik biaya, utang, dan politik, Whoosh tetap menjadi tonggak penting perjalanan modernitas Indonesia dan bukti keberhasilan diplomasi teknologi Tiongkok. Rel baja yang membentang dari Jakarta ke Bandung bukan hanya menghubungkan dua kota, tetapi juga dua peradaban — peradaban kerja keras dan kemandirian yang kini perlahan menggantikan dominasi lama Barat.

Whoosh tidak hanya cepat dalam kecepatan, tetapi juga cepat dalam mengubah cara kita memandang masa depan: bahwa kemajuan bukanlah monopoli siapa pun, dan dalam dunia yang makin terhubung ini, Tiongkok dan Indonesia telah menunjukkan bahwa kolaborasi Asia adalah jalur tercepat menuju peradaban baru yang setara dan berdaulat.