Kamis, 6 Oktober 2022 13:20:57 WIB

Tragedi Kanjuruhan, Saat Penempatan Polisi dan Tentara di Stadion Dinilai Tak Relevan
Olahraga

Bagas Sumarlan

banner

Suasana kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022).((KOMPAS.COM/Imron Hakiki))

JAKARTA, RAdio Bharata Online - Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 1 Oktober 2022, menimbulkan pertanyaan soal relevansi penempatan aparat bersenjata dalam ruang-ruang olahraga. Sebagai informasi, dalam tragedi yang terjadi usai laga Arema vs Persebaya, kekerasan aparat, baik oleh oknum polisi maupun tentara, menyebar luas di media sosial serta menjadi sorotan. Terbukti, penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam pengendalian massa oleh polisi menewaskan sedikitnya 125 orang dan melukai ratusan lain, akibat berdesakan dan terjebak di stadion setelah gas air mata ditembakkan ke tribun penonton. Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menyoroti karakteristik massa pendukung sepakbola seharusnya tidak perlu dihadapi dengan aparat keamanan.

Apalagi, dalam konteks laga Arema vs Persebaya, suporter yang datang ke Stadion Kanjuruhan hanya suporter tuan rumah. "Ini kerumunan yang tidak terkonsentrasi, tidak ada komando, dan bukan kerumunan yang mengancam keselamatan, mengancam jiwa, baik orang-orang di sekitarnya maupun aparat keamanan," kata Julius dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Rabu (5/10/2022). Ditambah lagi, menurutnya, suporter sepakbola telah melalui pemindaian di awal ketika datang ke stadion. Para suporter telah dilarang membawa senjata, tumpul maupun tajam, bahkan suar dan kembang api.

Kemudian, massa yang hadir disebutnya juga terkonsentrasi di satu area stadion, sehingga kecil peluang merusak properti di luarnya. "Aparat kepolisian dan tentara menggunakan alat untuk melumpuhkan speerti alat pemukul, gas air mata, menggunakan senjata api, karena itu metode pelumpuhan pihak-pihak yang dapat menyerang atau mengancam jiwa dan keselamatan. Dari awal, ini sudah salah," kata Julius. "Potensi kerusuhan sipil, bentrok, yang bisa menyebabkan kematian, (dalam konteks Arema versus Persebaya), jauh dari bacaan secara teoretis. Dengan (tentara dan polisi) masuk stadion, itu sudah metode yang termiliterisasi, pendekatan untuk menyerang, melumpuhkan, dengan segala bentuk upaya tanpa pertimbangan apa pun," ujarnya.

Oleh karenanya, Julius dan rekan yang lainnya mendorong agar Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tidak hanya bicara soal teknis insiden peristiwa Tragedi Kanjuruhan, melainkan dapat berujung pada evaluasi yang lebih menyeluruh. Termasuk, relevansi penempatan aparat keamanan di stadion.

Julius membandingkannya dengan pengamanan di stadion-stadion mancanegara yang mengutamakan pengaman sipil (stewards). "Kita lihat di luar negeri (pengamannya) pakai rompi semuanya, tidak ada identitas fungsi pertahanan dan keamanan negara. Yang harus dilakukan (TGIPF) itu menyeluruh, yang tadi saya katakan, kenapa pakai pendekatan keamanan dalam negeri di lapangan," katanya. Diberitakan sebelumnya, pemerintah telah membentuk TGIPF tragedi Kanjuruhan yang dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, di kutip dari KOMPAS.COM.

 

Komentar

Berita Lainnya

Jokowi Sambut Presiden FIFA di Istana Merdeka Olahraga

Selasa, 18 Oktober 2022 13:40:25 WIB

banner