Radio Bharata Online - Meningkatnya kejahatan bermotif kebencian (hate crime) menjadi salah satu isu paling mendesak di Amerika saat ini.

Tindak kejahatan yang dimotivasi oleh prasangka terhadap ras, orientasi seksual, agama, jenis kelamin, negara asal, atau faktor lainnya kian meresahkan masyarakat setempat.

Dilaporkan oleh situs web berita LIHerald.com pada Senin (22/8/2022), dikutip dari Xinhua pada 2020, terdapat lebih dari 8.000 kasus kejahatan bermotif kebencian yang dilakukan di Amerika Serikat (AS).

Angka itu naik dari 7.000 lebih pada tahun sebelumnya. Mengutip FBI, persentase terbesar dari kejahatan bermotif kebencian dimotivasi oleh ras, etnis, dan keturunan.

Disebutkan pula bahwa "retorika stigmatisasi seputar pandemi COVID-19 dan wabah cacar monyet hanya semakin memicu kekerasan."

Sejatinya, para pembuat kebijakan telah berupaya mengurangi jenis kejahatan ini setidaknya sejak 1968, ketika undang-undang (UU) federal pertama tentang kejahatan bermotif kebencian diloloskan dengan Segmen I dari UU Hak Sipil.

Di beberapa negara bagian juga telah memberlakukan UU kejahatan bermotif kebencian versi mereka sendiri, yang sering kali lebih ketat. Namun, hal itu belum mampu menjaga ketentraman masyarakat dari kejahatan bermotif kebencian.

"Faktanya, saat ini terdapat 46 negara bagian yang memberlakukan UU kejahatan bermotif kebencian. Namun, UU yang diberlakukan berbeda-beda di setiap negara bagian, dan terkadang perbedaannya substansial," ungkap laporan itu.

Editor: Thomas Rizal