Selasa, 27 Desember 2022 13:39:15 WIB

AS dan Eropa Menyambut 2023 dalam Situasi Chaos
International

Endro

banner

Orang-orang menunggu bus di Chicago, Amerika Serikat, pada 24 Desember 2022. Badai musim dingin yang kuat melanda Chicago. (Foto oleh Joel Lerner/Xinhua)

BEIJING, Radio Bharata Online – Ketika badai dahsyat dan mematikan melanda Amerika Utara, memadamkan kota-kota dan membekukan antusiasme Natal, Eropa dilanda pemogokan karena meroketnya harga, serta lebih banyak krisis termasuk kejahatan rasial dan pengangguran.

Para pengamat menilai, Barat bersiap untuk mengakhiri tahun 2022 dan menyambut tahun 2023 dalam suasana suram dengan banyak kekacauan yang segera terjadi.  Sementara rasa sakit kronis dari perpecahan sosial, rasisme, dan pemerintahan yang tidak efektif, juga hampir tidak dapat melihat perubahan haluan dalam waktu dekat.

Lebih dari 1,5 juta orang di Amerika Utara menghabiskan Natal dalam keadaan mati lampu, karena badai musim dingin yang meluas lebih dari 3.200 kilometer dari Texas AS, ke Quebec di Kanada.

CNN melaporkan pada hari Minggu, hampir 250 juta orang Amerika dan Kanada merasakan cengkeraman es dari badai yang menewaskan sedikitnya 37 orang di AS.

Ribuan penerbangan telah dibatalkan sejak Kamis, ketika perjalanan seharusnya mencapai puncaknya selama liburan Natal. Menurut BBC, masalah perjalanan di seluruh negeri diperburuk oleh kekurangan operator penyapu salju, dengan alasan tingkat gaji pekerja yang rendah.

Namun suasana kemeriahan tak hanya terganggu oleh bencana alam. Serangkaian masalah sosial dan tata kelola yang mengakar, tampak menonjol dan meredam kegembiraan liburan.

Menurut media AS, beberapa bus migran, termasuk anak-anak dan bayi, diturunkan di depan kediaman Wakil Presiden Kamala Harris di Washington, DC, pada malam Natal.

Beberapa dari mereka mengenakan kaos dalam cuaca yang sangat dingin.

Gedung Putih menyalahkan gubernur Texas Greg Abbott, menyebutnya sebagai "aksi yang kejam, berbahaya, dan memalukan". Abbott adalah salah satu dari setidaknya tiga gubernur Republik yang dipuji karena mengangkut atau menerbangkan migran ke utara, untuk memprotes kebijakan imigrasi pemerintahan Biden.

Analis mencatat, Partai Republik dikritik karena melakukan pertunjukan publik untuk menyatakan diri mereka sebagai juara keamanan perbatasan terbesar, sementara Demokrat tampaknya menolak untuk mengakui adanya krisis di perbatasan.

Kebijakan perbatasan AS yang disfungsional memang memusingkan, tetapi itu hanyalah gejala dari penyakit mendalam yang berkepanjangan.  Li Haidong, seorang profesor di Institut Hubungan Internasional di Universitas Urusan Luar Negeri Tiongkok, kepada Global Times pada hari Senin mengatakan, itulah kegagalan AS dalam pemecahan masalah dan tata kelola.  Li juga mengutip kekerasan senjata, sebagai masalah pemerintahan yang menonjol lainnya.

Menurut Arsip Kekerasan Senjata, AS telah mencatat lebih dari 600 penembakan massal pada tahun 2022, rekor tertinggi baru ketika pandemi telah memicu kekerasan senjata.  Arsip Kekerasan Senjata adalah sebuah organisasi nirlaba yang melacak penembakan di AS. Sebuah studi terbaru menemukan di beberapa bagian AS, pria muda menghadapi risiko kematian yang lebih tinggi akibat kekerasan senjata, daripada jika mereka pergi berperang di Afghanistan dan Irak.

Wei Nanzhi, seorang peneliti di Institute of American Studies di Chinese Academy of Social Sciences di Beijing, kepada Global Times pada hari Senin mengatakan, pemisahan kekuasaan antara negara bagian dan pemerintah federal, pertempuran politik antara kedua partai di semua tingkatan, membuat kekerasan senjata sering dibahas, tetapi tidak pernah tuntas.

Politik AS yang terpolarisasi telah melumpuhkan kemampuan sistemiknya untuk mencapai konsensus tentang isu-isu utama, dan menyelesaikan masalah nyata, baik itu kekerasan senjata, imigrasi, atau rasisme.

AS telah memberi contoh buruk bagi tetangganya di utara. Meskipun kejahatan terkait senjata api berjumlah kurang dari 3 persen dari semua kekerasan di Kanada, sejak 2009, tingkat per kapita senjata yang ditembakkan dengan maksud membunuh atau melukai, telah meningkat lima kali lipat, begitu Reuters melaporkan, setelah penembakan di Toronto menewaskan 5 orang dan melukai lainnya pada tanggal 18 Desember.

Di sisi lain di seberang Atlantik, orang Eropa berjuang dengan masalah inflasinya sendiri, meroketnya harga energi, drainase industri, pengangguran, dan kebangkitan populisme dan ekstremisme yang berbahaya.

Pada hari Jumat, seorang pria bersenjata melepaskan tembakan di pusat kota Paris, menewaskan tiga orang dan melukai tiga lainnya. Penyerang berusia 69 tahun itu menargetkan pusat budaya Kurdi dan mengaitkan tindakannya dengan "menjadi rasis", demikian sebagaimana dilaporkan France 24.

 

Penembakan itu menimbulkan kekhawatiran tentang kejahatan rasial, pada saat suara sayap kanan menjadi terkenal di Prancis dan di seluruh Eropa dalam beberapa tahun terakhir.

Beberapa ratus orang Kurdi berkumpul pada hari Jumat untuk memprotes penembakan tersebut, kadang-kadang bentrok dengan pasukan keamanan, melempar batu dan membakar tempat sampah. Sementara Polisi menanggapi dengan gas air mata dan 11 petugas terluka.

Di seberang Selat Inggris, London sibuk menangani serangkaian pemogokan baru di tengah liburan Natal.

Financial Times melaporkan, pekerja kereta api mogok kerja dan membuat jaringan transportasi terhenti, dan staf Pasukan Perbatasan bersiap untuk keluar. Perawat dan paramedis, pekerja pos, supir bus, dan pegawai negeri berada di tengah aksi mogok atau mengancam akan mogok.

Serangkaian perselisihan individu di berbagai sektor telah menyatu menjadi pengertian yang lebih luas, bahwa ada sesuatu yang sangat salah di Inggris, dengan para pekerja mengatakan bahwa gaji, kondisi, dan kemampuan mereka untuk menyediakan layanan penting, telah dikompromikan oleh pemotongan bertahun-tahun dan kurangnya investasi.

Zhao Junjie, seorang peneliti di Institut Studi Eropa Akademi Ilmu Sosial Tiongkok, mengatakan kepada Global Times pada hari Senin bahwa kekacauan di permukaan, mencerminkan masalah sosial ekonomi yang mengakar di Eropa, yang dihasilkan dari faktor internal dan eksternal.

Secara internal, politisi tidak mewakili kepentingan publik, tetapi menjadi juru bicara para elit.  Kemarahan rakyat menimbulkan partai sayap kanan, populisme dan ekstremisme.  Angin puyuh perubahan kekuasaan di beberapa negara juga membuat kebijakan tidak berkelanjutan.

Secara eksternal, Zhao mencatat bahwa konflik Rusia-Ukraina merupakan faktor utama, yang tidak hanya menguras ekonomi Eropa, tetapi juga mempersempit ruang untuk mencari otonomi politik.

Eropa, yang dilanda krisis energi, sedang dalam mode hemat daya. Orang Eropa mematikan lampu dekorasi dan mempersingkat pasar Natal musim dingin untuk menghemat energi. Orang-orang berebut memasang panel surya di rumah mereka, membeli selimut dan pemanas ekstra untuk mengatasi kehidupan tanpa pemanas sentral.

Kemiskinan bahan bakar tidak hanya membuat orang Eropa sangat kedinginan, tetapi juga mengikat Eropa lebih dekat dengan pemasok energi alternatifnya yakni AS.  Menurut Zhao, ketika lebih banyak sumber daya dan anggaran fiskal dialokasikan sesuai dengan apa yang AS inginkan (Eropa lakukan), lebih sedikit yang dapat diinvestasikan ke dalam industri dan mata pencaharian publik.

Li Haidong mengatakan, penurunan inflasi sangat bergantung pada pemulihan rantai pasokan global dan penyesuaian struktur energi, yang tidak dapat melihat peningkatan cepat pada tahun 2023. Masalah sosial dan tata kelola yang kronis juga tidak dapat diatasi. "2023 tidak akan mudah bagi kedua sisi Atlantik." (Global Times)

Komentar

Berita Lainnya

Forum Pangan Dunia ke-2 Dibuka di Roma International

Selasa, 18 Oktober 2022 23:8:41 WIB

banner