Tiongkok baru saja menegaskan posisinya sebagai salah satu kekuatan pendidikan terbesar dunia dengan mengumumkan bahwa mereka telah membangun sistem pendidikan vokasi terbesar secara global. Pernyataan resmi dalam konferensi pers pada 23 September 2025 di Beijing menampilkan data yang mengesankan: 9.302 sekolah menengah kejuruan, 1.562 perguruan tinggi vokasi, dan 87 program vokasi bergelar sarjana dengan total pendaftar 34 juta mahasiswa. Jumlah itu dilengkapi dengan 19 kategori utama, 97 subkategori, 1.434 spesialisasi, dan 120.000 program spesialisasi yang menjangkau hampir semua sektor ekonomi nasional dan mencakup 41 sektor industri utama yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lebih dari sekadar angka, capaian ini menandai keseriusan Tiongkok menyiapkan infrastruktur talenta yang selaras dengan strategi pembangunan nasional dan posisi negara dalam persaingan global.

Transformasi pendidikan vokasi ini bukan muncul begitu saja, melainkan bagian dari kerangka besar Rencana Lima Tahun ke-14 (2021–2025) yang memang menekankan integrasi pendidikan dengan industrialisasi dan inovasi. Wakil Menteri Pendidikan Xiong Sihao menegaskan bahwa program vokasi direstrukturisasi agar selaras dengan strategi nasional, termasuk penambahan 12.000 program baru dalam lima tahun terakhir dengan fokus setengahnya pada bidang teknik dan teknologi. Lebih dari itu, pemerintah juga memperkenalkan 63 perguruan tinggi vokasi baru dengan jenjang sarjana dan melibatkan 52 universitas reguler dalam program serupa, sehingga menghapus sekat antara pendidikan akademik dan vokasional. Sinergi ini diperkuat dengan pembentukan aliansi industri-pendidikan di tingkat kota maupun lintas sektor, menjadikan kurikulum lebih relevan dengan kebutuhan regional dan ekonomi riil.

Dalam perspektif teori hubungan internasional, kebijakan ini dapat dipahami melalui beberapa kerangka analisis. Pertama, dari kacamata realisme, negara memperkuat kapasitas materialnya dengan memastikan ketersediaan tenaga ahli teknis yang menjadi fondasi kekuatan industri dan teknologi. Ketika rivalitas geopolitik dengan Amerika Serikat dan Barat semakin tajam, kemandirian dalam sumber daya manusia terampil menjadi modal strategis yang tidak kalah penting dibanding senjata atau teknologi militer. Pendidikan vokasi diperlakukan sebagai sarana membangun basis produksi nasional yang tangguh, sehingga Tiongkok tidak bergantung pada transfer teknologi asing. Dalam konteks persaingan global, ribuan insinyur terapan dan teknisi yang lahir dari sistem ini akan menopang inovasi di bidang kecerdasan buatan, material baru, antariksa, hingga kuantum, yang memang telah menghasilkan banyak penghargaan ilmiah dalam lima tahun terakhir.

Kedua, dalam kerangka developmental state, Tiongkok memperlihatkan peran aktif negara sebagai perancang pembangunan. Alih-alih menyerahkan pasar pendidikan ke mekanisme liberal murni, Beijing justru mengorkestrasi hubungan erat antara pendidikan, industri, dan pembangunan regional. Strategi ini serupa dengan model Jepang pasca-Perang Dunia II atau Korea Selatan era industrialisasi, di mana negara berfungsi sebagai sutradara yang mengarahkan talenta ke sektor prioritas. Namun, skala yang dimainkan Tiongkok jauh melampaui pendahulunya. Dengan lebih dari 55 juta lulusan pendidikan tinggi dalam periode Rencana Lima Tahun ke-14, dan fakta bahwa 70 persen tenaga kerja terampil baru berasal dari jalur vokasi, terlihat jelas bagaimana Beijing menggunakan pendidikan untuk memacu transformasi struktural ekonominya.

Ketiga, jika dilihat dari perspektif liberal-institutionalist, pendidikan vokasi bukan hanya instrumen domestik, melainkan juga alat diplomasi pembangunan. Tiongkok menggunakan soft power pendidikan melalui kerja sama internasional, salah satunya dengan Program Pangan Dunia (WFP) di Kirgistan. Proyek bersama ini menyediakan makanan hangat untuk lebih dari 100.000 anak sekolah dan melibatkan pengiriman 1.700 ton makanan ke 300 sekolah. Walau sepintas hanya tampak sebagai bantuan kemanusiaan, program ini sesungguhnya menunjukkan bagaimana Tiongkok mengaitkan pendidikan dengan diplomasi internasional: membangun citra sebagai mitra pembangunan yang peduli dan berinvestasi dalam masa depan generasi muda di Selatan global. Inilah wujud dari kerja sama Selatan-Selatan yang menempatkan Tiongkok sebagai donor alternatif bagi negara berkembang, sekaligus memperluas pengaruhnya melalui jalur yang lebih halus dibanding kekuatan militer.

Pendekatan konstruktivis memberikan tambahan pemahaman penting: kebijakan vokasi juga berfungsi mengubah norma sosial dalam negeri. Di banyak negara berkembang, jalur vokasi sering dipandang kelas dua dibanding universitas akademik. Tiongkok mencoba menghapus stigma ini dengan memperkenalkan gelar vokasi sarjana, memperluas spesialisasi, serta menjamin integrasi langsung ke industri. Tujuannya jelas, yakni membangun persepsi baru bahwa keahlian teknis bukan sekadar pekerjaan rendahan, melainkan jalur prestisius untuk mobilitas sosial dan kontribusi pada pembangunan nasional. Jika perubahan persepsi ini berhasil, maka akan terjadi transformasi budaya pendidikan yang signifikan, di mana keterampilan praktis mendapatkan tempat yang setara dengan kecerdasan akademik.

Namun, meski capaian tersebut impresif, tantangan nyata tidak bisa diabaikan. Pertama, kualitas versus kuantitas. Jumlah institusi dan program yang besar tidak otomatis menjamin mutu. Tantangan terletak pada penyediaan tenaga pengajar berkualifikasi ganda (dual-qualified teachers) yang menguasai teori sekaligus praktik industri, serta mekanisme evaluasi kurikulum agar tidak tertinggal dari laju perubahan teknologi. Kedua, dinamika demografis menjadi variabel penting. Tiongkok menghadapi penurunan populasi dan penuaan masyarakat yang akan mengurangi tenaga kerja usia produktif. Maka, pipeline talenta besar yang tersedia saat ini perlu dilengkapi dengan strategi pembelajaran seumur hidup dan produktivitas per individu yang lebih tinggi agar tidak sia-sia. Ketiga, risiko mismatch antara keterampilan dengan kebutuhan nyata industri harus diantisipasi. Revolusi industri 4.0 menuntut fleksibilitas, keterampilan digital, dan kemampuan adaptif. Jika kurikulum vokasi tidak cepat menyesuaikan dengan otomatisasi dan kecerdasan buatan, lulusan bisa saja terjebak dalam pekerjaan berupah rendah atau bahkan menganggur meskipun tersertifikasi.

Perbandingan dengan Jerman, yang dikenal dengan sistem dual apprenticeship, menunjukkan bahwa kesuksesan pendidikan vokasi sangat bergantung pada kolaborasi nyata dengan perusahaan. Di Jerman, siswa vokasi bekerja langsung di industri sambil belajar di sekolah, sehingga keterampilan selalu relevan. Tiongkok telah bergerak ke arah ini dengan membangun aliansi industri-pendidikan, tetapi efektivitasnya akan ditentukan oleh sejauh mana perusahaan benar-benar dilibatkan dalam mendesain kurikulum dan menyediakan kesempatan praktik. Jika tidak, sistem besar ini bisa berubah menjadi mesin produksi sertifikat tanpa dampak signifikan pada produktivitas.

Dari perspektif global, ekspansi pendidikan vokasi Tiongkok berimplikasi besar. Pertama, ia memperkuat kapasitas Tiongkok untuk memimpin dalam rantai pasok teknologi dunia, sebab tenaga kerja terampil adalah bahan bakar utama inovasi. Kedua, ia memperlihatkan alternatif model pembangunan yang berbeda dari Barat. Sementara banyak negara Barat mengalami stagnasi partisipasi pendidikan vokasi, Tiongkok justru membuktikan bahwa jalur ini dapat menjadi prioritas negara dan bukan sekadar pilihan marjinal. Ketiga, ia menambah instrumen soft power Tiongkok dalam hubungan internasional, khususnya dengan negara-negara berkembang yang masih mencari model pendidikan yang mampu menyeimbangkan akses, keterampilan, dan pembangunan ekonomi.

Kesimpulannya, deklarasi bahwa Tiongkok telah membangun sistem pendidikan vokasi terbesar di dunia adalah lebih dari sekadar kebanggaan statistik. Ia mencerminkan strategi komprehensif negara yang menggabungkan teori human capital dalam ekonomi, logika realisme dalam hubungan internasional, pendekatan developmental state dalam perencanaan pembangunan, serta instrumen soft power dalam diplomasi global. Capaian ini harus dibaca sebagai sinyal bahwa Tiongkok sedang membangun fondasi kekuatan jangka panjang melalui investasi besar-besaran pada talenta teknis dan ilmiah. Pertanyaan penting bukan lagi apakah Tiongkok mampu memperbesar jumlah institusi, melainkan apakah mereka mampu menjaga kualitas, relevansi, dan keberlanjutan dari sistem ini. Bila mampu, maka keunggulan pendidikan vokasi akan menjadi salah satu pilar utama pergeseran dominasi global dari Barat ke Timur, menjadikan Tiongkok bukan hanya pusat manufaktur dunia, tetapi juga pusat produksi pengetahuan dan keterampilan yang akan menentukan wajah ekonomi dan politik internasional pada abad ke-21.