Bharata Online - Karnaval mobil energi baru di Suzhou yang digelar bersamaan dengan Konferensi Keselamatan Kendaraan 2025 semakin tampak sebagai tonggak perubahan struktur kekuatan industri otomotif global. Di tengah perlambatan inovasi dan ketergantungan Amerika Serikat (AS) serta Eropa pada proteksionisme dan tarif, Tiongkok memamerkan bukti konkret kemajuan teknologi, efisiensi manufaktur, serta kesiapan pasar dan institusi yang menjadikannya pusat gravitasi baru dunia otomotif.
Ini bukan sekadar presentasi produk, ini deklarasi faktual bahwa kepemimpinan otomotif abad ke-21 tidak lagi ditentukan oleh sejarah panjang mesin pembakaran internal Barat, melainkan oleh inovasi listrik, komputasi cerdas, dan kemampuan produksi massal yang hanya Tiongkok miliki secara konsisten. Narasi ini menjadi semakin kuat ketika BYD meluncurkan hypercar listrik Yangwang U9 Xtreme (U9X) di Zhengzhou.
Model khusus trek ini memecahkan rekor dunia dengan kecepatan 496,22 km/jam di Jerman, mengungguli rekor sebelumnya yang dipegang mobil bensin konvensional, serta mencatat waktu putaran impresif 6 menit 59 detik di Nürburgring Nordschleife. Model ini dibangun di atas platform tegangan ultra-tinggi yang diproduksi massal pertama di dunia, output lebih dari 3.000 tenaga kuda, bodi berbahan paduan aluminium cetak 3D pertama di dunia, hingga peningkatan komprehensif sistem tiga-listrik.
Semua ini menjelaskan bahwa wacana “Tiongkok mengejar teknologi Barat” sudah tidak relevan. Realitasnya, kini Tiongkok mendefinisikan ulang batas kinerja mobil listrik, sementara pabrikan Barat tertinggal dalam transisi dari mesin pembakaran internal ke kendaraan listrik pintar. Fenomena ini bukan peristiwa terisolasi, ini adalah bagian dari ekosistem inovasi yang terstruktur.
Faktanya, data industri menunjukkan Tiongkok memproduksi lebih dari 21 juta kendaraan pada awal tahun 2025, hampir separuhnya kendaraan energi baru (New Energy Vehicle/NEV). Model seperti BYD Seagull menghancurkan penghalang harga, menawarkan EV berkualitas dengan biaya di bawah USD 10.000 atau hanya 166 juta rupiah saja, sehingga menciptakan akses luas bukan eksklusivitas teknologi.
Pameran Suzhou menegaskan bahwa model produksi massal untuk rakyat dan hypercar berstandar global dapat lahir dari ekosistem yang sama. Ini strategi negara yang matang dalam mendorong riset dasar, mempercepat siklus produksi, mengintegrasikan perangkat lunak, baterai, dan kecerdasan buatan, serta mengukur keberhasilan berdasarkan penerimaan pasar bukan sekadar penghargaan atau retorika.
Bandingkan dengan di AS misalnya, yang mana produsen mereka masih bergantung pada tarif, insentif terbatas, dan narasi keamanan rantai pasokan. Buktinya, penjualan EV Ford di satu periode singkat saja hanya sekitar 9.000 unit jauh dari penjualan puluhan ribu BYD Seagull dalam satu bulan. Bahkan tokoh industri AS mengakui mobil Tiongkok lebih efisien. Parahnya, Washington merespon hal ini bukan dengan inovasi tetapi hambatan impor. Itu justru menjadi indikator ketertinggalan struktural bukan tanda kekuatan.
Sama halnya dengan di Eropa yang berada di posisi lebih pragmatis. Bayangkan saja, di satu sisi tarif EV Tiongkok diperketat tetapi di sisi yang lain korporasi besar seperti ZF Group justru menjadikan Tiongkok pusat utama penelitian dan pengembangan. Pernyataan eksekutif ZF bahwa “hanya dengan kompetitif di Tiongkok, kami bisa kompetitif di Eropa dan Amerika Utara” menunjukkan realitas yang jarang diakui publik Barat.
Ini menunjukkan bahwa inovasi otomotif kini dikendalikan oleh pasar Tiongkok. Riset dan Pengembangan (Research and Development/R&D) yang dulunya 3-4 tahun di Eropa kini harus dipercepat menjadi empat hingga 12 bulan di Tiongkok. Ini bukan evolusi biasa, ini revolusi siklus inovasi yang tidak dapat dilakukan pasar Barat karena tingginya biaya, birokrasi lambat, dan konsumen konservatif.
Sosiologi teknologi juga berperan, dimana pasar Tiongkok dipenuhi konsumen yang progresif, bersedia mencoba teknologi baru, dan memiliki toleransi untuk iterasi cepat. Pemerintah menciptakan ekosistem administratif yang efisien tanpa hambatan patronase politik. Lingkungan kewirausahaan yang didukung negara mempercepat eksperimen teknologi, menghasilkan keunggulan kompetitif yang tidak dapat ditiru melalui subsidi Barat yang bersifat defensif.
Di tingkat internasional, ekspansi merek Tiongkok ke pasar Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) memperkuat tren bahwa Tiongkok bukan hanya mengekspor produk, tetapi sedang membentuk ekosistem regional. Di Indonesia misalnya, Farizon dari grup Geely resmi masuk melalui Arista Group dengan visi mempercepat adopsi kendaraan niaga ramah lingkungan.
JAC Motors dan Wuling juga telah lebih dulu mengisi segmen komersial listrik. Dengan adanya potensi produksi lokal, menunjukkan strategi integrasi industri yang lebih mendalam dibandingkan model impor konvensional Barat. Ini mencerminkan strategi “dual circulation” Tiongkok yang menguat di dalam negeri, sehingga memperluas pengaruh industri di luar negeri.
Jika dicermati secara teoritis melalui perspektif hubungan internasional, ekonomi politik global, dan inovasi teknologi, maka terlihat arah perubahannya jelas bahwa Tiongkok tidak menunggu persetujuan sistem Barat. Ia membangun standar sendiri, menciptakan pasar sendiri, dan memaksa dunia menyesuaikan.
Kekuatan Tiongkok tentu bukan sekadar retorika ideologis, melainkan keberhasilan empiris yang terukur melalui rekor trek Jerman, skala produksi terbesar dunia, siklus inovasi tercepat, dan penetrasi pasar global yang sistematis. Sementara di sisi lain, AS dan sebagian Eropa lebih sibuk mempertahankan warisan industri lama daripada memimpin masa depan mobilitas.
Dengan demikian, apa yang terjadi di Suzhou, Zhengzhou, Xiamen, hingga Jakarta bukan rangkaian peristiwa terpisah. Ini peta strategis perubahan abad ke-21 bahwa dominasi otomotif kini telah berpindah dari Barat ke Tiongkok melalui keunggulan teknologi, ekosistem inovasi lengkap, dan kemampuan mengonversi skala menjadi kekuatan pasar.
Peralihan ini bersifat struktural dan tidak bersifat sementara. Dalam fase berikutnya, negara dan perusahaan yang enggan beradaptasi dengan pusat inovasi baru ini akan menghadapi risiko irrelevansi industri, sementara mereka yang mengikuti arus akan terintegrasi dalam ekonomi mobilitas global yang dipimpin oleh Tiongkok.