Selasa, 8 Juli 2025 19:49:20 WIB
Multipolarisme dalam Sistem Anarkis: Antara Kompetisi dan Kolaborasi
International
OPINI/Muhammad Rizal Rumra

Ilustrasi
Selama lebih dari tiga dekade setelah berakhirnya Perang Dingin, dunia mengenal sebuah tatanan internasional yang bersifat unipolar, di mana Amerika Serikat (AS) berdiri sebagai satu-satunya kekuatan super yang mendominasi sistem global. Dalam konfigurasi ini, AS tidak hanya menjadi aktor utama dalam bidang militer dan ekonomi, tetapi juga penentu norma dan aturan dalam tatanan internasional. Dominasi ini menghadirkan prediktabilitas, meskipun tidak lepas dari kritik atas sifat hegemoni dan ketimpangan kekuasaan yang menyertainya.
Namun, lanskap geopolitik global saat ini telah mengalami pergeseran signifikan. Dunia menyaksikan kebangkitan kekuatan-kekuatan besar lain seperti Tiongkok, India, dan Rusia, menandai sebuah transisi menuju era multipolaritas yakni sebuah tatanan di mana tidak ada satu negara pun yang memiliki kapasitas mutlak untuk mengendalikan dinamika global.
Dalam pandangan teori realisme, perubahan ini merupakan konsekuensi logis dari sistem internasional yang bersifat anarkis dan kompetitif. Kenneth Waltz dalam teori neorealisnya menegaskan bahwa struktur internasional akan berubah mengikuti distribusi kapabilitas antarnegara. Ketika kekuatan baru muncul dan mampu menantang status quo, sistem unipolar dengan sendirinya akan mengalami erosi. Multipolaritas yang kini berkembang menciptakan medan kompetisi yang lebih kompleks karena semakin banyak aktor negara dengan kekuatan yang relatif setara saling bersaing untuk pengaruh dan kepentingan.
Konsekuensi dari kondisi ini bukanlah keseimbangan otomatis, tetapi justru potensi fragmentasi dan instabilitas, karena tidak ada satu aktor dominan yang dapat memaksakan aturan secara konsisten atau menyelesaikan konflik secara efisien. Realitas ini tampak dalam persaingan strategis antara AS dan Tiongkok, yang tidak lagi terbatas pada aspek ekonomi, tetapi telah merambah pada dimensi teknologi, ideologi, militer, dan pengaruh diplomatik.
AS mengedepankan tatanan liberal internasional berbasis aturan (rules-based order), sementara Tiongkok menawarkan model alternatif yang menekankan prinsip kedaulatan, pembangunan berbasis negara, dan non-intervensi. Persaingan ini semakin mengkristal dalam bentuk kebijakan dan aliansi, seperti pembentukan blok ekonomi dan militer baru, perang dagang, hingga pembatasan teknologi strategis seperti chip semikonduktor.
Negara-negara lain pun menghadapi dilema geopolitik, yang terjebak dalam pilihan antara dua kutub kekuatan, atau mencoba menavigasi ruang sempit di antara mereka dengan kebijakan luar negeri yang pragmatis dan oportunistik. Hal ini memperbesar risiko polarisasi internasional yang tidak hanya terjadi secara militer, tetapi juga dalam aspek ekonomi, ideologi, dan tata kelola global.
Secara historis, transisi dari satu tatanan kekuasaan ke tatanan lain kerap disertai dengan konflik besar. Teori power transition dan konsep Thucydides Trap yang dipopulerkan oleh Graham Allison menunjukkan bahwa ketika sebuah kekuatan baru bangkit dan menantang dominasi kekuatan lama, probabilitas perang meningkat secara signifikan. Dalam konteks multipolaritas saat ini, risiko tersebut semakin besar karena adanya banyak kutub kekuasaan yang saling berkompetisi, bukan hanya dua seperti dalam sistem bipolar.
Contoh nyata dari dinamika ini dapat dilihat dalam konflik Ukraina, di mana ambisi Rusia untuk mengamankan lingkup pengaruhnya di Eropa Timur berbenturan langsung dengan ekspansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan dukungan Barat terhadap Ukraina. Ini bukan sekadar konflik regional, melainkan cerminan dari rivalitas global yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar dalam posisi saling konfrontatif.
Selain itu, struktur multipolar membuat lembaga-lembaga internasional yang dibentuk dalam konteks pasca-Perang Dunia II seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan Dana Moneter Internasional (IMF) menjadi semakin tidak efektif. Ketika anggota tetap Dewan Keamanan PBB sendiri berada dalam posisi saling berlawanan, seperti AS dan Rusia atau AS dan Tiongkok maka proses pengambilan keputusan menjadi macet. Krisis kemanusiaan, pelanggaran hak asasi manusia, hingga isu perubahan iklim kerap tidak mendapatkan respons kolektif yang memadai karena tumpang tindih kepentingan geopolitik.
Ketidakmampuan lembaga-lembaga internasional untuk berfungsi optimal dalam konteks multipolar ini memperkuat ketidakpastian strategis. Negara-negara pun cenderung meningkatkan anggaran pertahanan, membentuk aliansi ad-hoc berdasarkan kepentingan jangka pendek, serta menempuh strategi koersif untuk menjaga kepentingannya.
Dari perspektif ekonomi-politik global, multipolaritas juga menyebabkan perubahan dalam struktur interdependensi internasional. Ketergantungan ekonomi global yang sebelumnya dianggap membawa perdamaian kini menjadi sumber kerentanan strategis. Pandemi COVID-19 dan perang di Ukraina menjadi dua contoh penting bagaimana gangguan pada rantai pasok global dapat mengguncang stabilitas ekonomi dunia, meningkatkan inflasi, dan memperlebar kesenjangan antara negara maju dan berkembang.
Ketegangan antara AS dan Tiongkok dalam sektor teknologi mempercepat deglobalisasi, di mana negara-negara besar berusaha merelokalisasi industri vital dan mengurangi ketergantungan pada pihak asing. Ini menciptakan sistem ekonomi global yang lebih terfragmentasi dan rentan terhadap blokade politik.
Tidak hanya itu, dari sudut pandang konstruktivisme, muncul pula konflik naratif dan perbedaan identitas dalam memahami tatanan dunia. Barat mempromosikan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan keterbukaan pasar, sementara banyak negara non-Barat mulai mengedepankan model alternatif yang didasarkan pada stabilitas, otoritas negara, dan kedaulatan penuh.
Tiongkok dengan proyek Belt and Road Initiative (BRI) bukan hanya menawarkan bantuan infrastruktur, tetapi juga membangun realitas baru tentang pembangunan yang tidak selalu mengacu pada model liberal-demokratis. Negara-negara di Afrika, Asia Tengah, dan sebagian Amerika Latin menjadi sasaran utama dari perluasan pengaruh ini. Akibatnya, terjadi kompetisi tidak hanya dalam ranah kekuasaan, tetapi juga dalam sistem nilai dan legitimasi global.
Dengan demikian, multipolaritas adalah realitas struktural yang tak terelakkan dalam sistem internasional saat ini. Namun, persoalan utamanya bukanlah keberadaan banyak kekuatan, melainkan ketiadaan kerangka kerja global yang mampu mengakomodasi pluralitas kekuasaan tersebut. Jika multipolaritas dikelola tanpa mekanisme kolektif yang kokoh dan legitimasi bersama, maka dunia berisiko terjebak dalam spiral ketegangan dan konflik yang semakin sulit dikendalikan.
Tugas komunitas internasional ke depan bukan sekadar menghindari konflik bersenjata besar, tetapi juga menciptakan format baru kerja sama multilateral yang lebih inklusif, adil, dan responsif terhadap dinamika zaman. Tanpa itu, janji multipolaritas sebagai distribusi kekuasaan yang lebih seimbang akan berubah menjadi ancaman nyata bagi perdamaian dan stabilitas global.
Komentar
Berita Lainnya
Peng Liyuan menyerukan upaya global untuk mendorong pendidikan bagi anak perempuan dan perempuan ke arah yang lebih adil lebih inklusif dan lebih berkualitas dan kontribusi untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan global dan membangun komunitas dengan masa depan bersama untuk manusia International
Rabu, 12 Oktober 2022 8:34:27 WIB

Presiden RI Joko Widodo memuji gaya kepemimpinan Presiden Tiongkok International
Senin, 17 Oktober 2022 13:29:21 WIB

Forum Pangan Dunia ke-2 yang dibuka di Roma International
Selasa, 18 Oktober 2022 23:8:41 WIB

Giorgia Meloni International
Sabtu, 22 Oktober 2022 11:57:58 WIB

Sebuah insiden kebakaran terjadi di Gunung Kilimanjaro di Tanzania International
Minggu, 23 Oktober 2022 15:24:53 WIB

Serangan udara oleh militer Myanmar menewaskan lebih dari 60 orang International
Selasa, 25 Oktober 2022 10:2:29 WIB
