Bharata Online - Ketika Bank Dunia menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok untuk tahun 2025 menjadi 4,8 persen lebih tinggi dari prediksi sebelumnya, banyak pengamat global akhirnya mulai mengakui satu kenyataan yang tak bisa disembunyikan lagi bahwa Tiongkok bukan sekadar bertahan di tengah tekanan ekonomi global yang tak menentu, tetapi juga memimpin arah baru pembangunan dunia yang tak lagi bergantung pada paradigma ekonomi ala Barat.
Dalam konteks ketegangan geopolitik, fragmentasi rantai pasok, dan kebijakan proteksionis Amerika Serikat (AS) yang semakin agresif, stabilitas dan daya tahan ekonomi Tiongkok menjadi bukti konkret bahwa kekuatan sejati bukanlah dominasi, melainkan kemampuan beradaptasi, berinovasi, dan menjaga keseimbangan antara pasar, negara, dan rakyatnya.
Kenaikan proyeksi ini bukanlah hasil kebetulan, melainkan konsekuensi dari strategi ekonomi terencana yang khas Tiongkok dalam mengombinasikan kebijakan makro yang proaktif, industrial upgrading yang masif, serta fokus pada inovasi teknologi tinggi. Makanya wajar jika dalam tiga kuartal pertama 2025, ekonomi Tiongkok tumbuh 5,2 persen secara tahunan sehigga menempatkan negara ini di posisi teratas di antara ekonomi besar dunia.
Nilai tambah manufaktur berteknologi tinggi tumbuh 9,6 persen, sementara produksi kendaraan energi baru, robot industri, dan peralatan cetak 3D melonjak hingga di atas 25 persen. Di saat banyak negara Barat masih terjebak dalam perdebatan fiskal dan defisit anggaran, Tiongkok justru memperlihatkan bagaimana kebijakan industri yang berorientasi jangka panjang menghasilkan buah konkret bagi perekonomian riil.
Pendekatan ini selaras dengan teori realisme dalam hubungan internasional, dimana negara berperan sebagai aktor utama yang secara rasional memperkuat basis kekuasaannya melalui ekonomi dan teknologi. Namun, Tiongkok melangkah lebih jauh. Ia tidak menggunakan kekuatan ekonomi untuk dominasi, melainkan untuk stabilitas global.
Di tengah dunia yang diguncang oleh perang dagang dan sanksi sepihak Amerika, Tiongkok justru memperluas kerja sama perdagangan dan investasi melalui inisatif sabuk dan jalan (Belt and Road Initiative/BRI), serta memperdalam integrasi ekonomi di Asia melalui mekanisme seperti RCEP.
Strategi ini mencerminkan logika “constructive realism”, dimana Tiongkok tidak menantang tatanan internasional dengan konfrontasi, melainkan menawarkannya alternatif yang lebih inklusif, efisien, dan berorientasi pembangunan.
Bank Dunia sendiri mengakui bahwa meskipun Tiongkok menghadapi perlambatan struktural dan tekanan fiskal, fundamental ekonominya tetap solid. Data dari Biro Statistik Nasional menunjukkan bahwa sektor tersier tumbuh 5,4 persen, melampaui sektor industri primer dan sekunder. Hal ini mencerminkan pergeseran dari ekonomi berbasis produksi massal ke arah ekonomi berbasis nilai tambah tinggi, inovasi, dan jasa.
Di tengah stagnasi konsumsi di Barat akibat inflasi tinggi dan suku bunga yang belum turun, konsumsi domestik Tiongkok justru menunjukkan peningkatan stabil. Penjualan ritel naik 4,5 persen, sementara program “trade-in” atau tukar tambah barang konsumsi mendorong lonjakan penjualan peralatan rumah tangga, furnitur, hingga perangkat teknologi informasi lebih dari 20 persen.
Pergeseran ini bukan hanya tentang angka, tetapi tentang paradigma pembangunan yang berbeda dari Barat. AS dan Uni Eropa (UE) cenderung menilai kesuksesan ekonomi berdasarkan dinamika pasar bebas yang sering kali tidak berpihak pada stabilitas sosial. Tiongkok, sebaliknya, menempatkan kesejahteraan rakyat dan stabilitas sosial sebagai pusat kebijakan ekonomi.
Model ini menggabungkan disiplin perencanaan jangka panjang dengan fleksibilitas pasar, menghasilkan sistem ekonomi yang tidak mudah goyah meskipun menghadapi tekanan eksternal. Di sinilah keunggulan strategis Tiongkok dibandingkan Barat, bukan hanya kekuatan finansial, tetapi kemampuan memobilisasi seluruh instrumen negara untuk mempertahankan pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkualitas tinggi.
Secara teoretis, pendekatan ini bisa dijelaskan melalui konsep “state capitalism" yang mana negara berperan sebagai pengarah utama pembangunan ekonomi. Namun berbeda dari model lama yang kaku, Tiongkok menciptakan versi modern yang dinamis, dimana pemerintah mengatur arah tetapi sektor swasta dan inovasi menjadi motor penggeraknya.
Lonjakan investasi di sektor teknologi tinggi sebesar 33,1 persen dalam sembilan bulan pertama 2025 menunjukkan bahwa sinergi antara kebijakan publik dan pasar swasta berjalan efektif. Hasilnya adalah munculnya industri-industri baru yang kini menyaingi, bahkan melampaui dominasi perusahaan-perusahaan Barat dalam bidang kendaraan listrik, kecerdasan buatan, dan teknologi komunikasi.
Selain itu, kemampuan Tiongkok menjaga stabilitas makro juga menjadi contoh konkret keunggulan sistem ekonominya. Nilai tukar yuan tetap stabil, inflasi terkendali, dan tingkat pengangguran kota hanya 5,2 persen. Di AS sebaliknya, inflasi dan tingkat suku bunga tinggi telah menekan konsumsi dan investasi, sementara utang nasional melampaui 34 triliun dolar.
Di Eropa, stagnasi pertumbuhan memperlihatkan betapa lemahnya ketahanan ekonomi liberal dalam menghadapi ketidakpastian geopolitik. Dengan kata lain, model ekonomi pasar bebas yang diagungkan Barat kini menghadapi batas efisiensinya sendiri, sementara model Tiongkok yang mengutamakan keseimbangan antara peran negara dan pasar justru semakin relevan di era krisis global.
Dari perspektif "constructivist", kebangkitan ekonomi Tiongkok juga merupakan kemenangan ideologis. Narasi “pembangunan berkualitas tinggi” dan “modernisasi ala Tiongkok” menjadi alat diplomasi lunak yang efektif, menunjukkan bahwa kemajuan tidak harus datang dari demokrasi liberal atau resep IMF.
Fakta bahwa Bank Dunia, lembaga yang historisnya didominasi oleh pengaruh Barat harus mengoreksi proyeksi pertumbuhan Tiongkok ke atas adalah bentuk pengakuan terhadap efektivitas model ini. Tiongkok tidak lagi menjadi objek kebijakan global, tetapi subjek yang menentukan arah baru tata ekonomi dunia.
Lebih dalam lagi, daya tahan ekonomi Tiongkok juga menjadi cermin filosofi politiknya yang mana stabilitas jangka panjang lebih penting daripada keuntungan sesaat. Hal ini terlihat dari cara Beijing mengelola perlambatan properti tanpa menciptakan krisis keuangan, atau bagaimana pemerintah tetap fokus pada transformasi hijau dengan meningkatkan konsumsi energi non-fosil hingga 1,7 poin persentase.
Ketika Barat masih memperdebatkan transisi energi dan ketergantungan minyak, Tiongkok telah memproduksi dan mengekspor kendaraan listrik serta teknologi baterai dalam jumlah terbesar di dunia. Dalam konteks ini, Tiongkok bukan hanya peserta dalam transisi global, tetapi penggerak utamanya. Secara geopolitik, keberhasilan ekonomi Tiongkok membawa implikasi strategis besar yang mana dunia tidak lagi unipolar.
AS kehilangan monopoli dalam menentukan arah globalisasi, dan ekonomi Asia kini muncul sebagai pusat gravitasi baru. Negara-negara seperti Vietnam dan Mongolia yang tumbuh cepat justru mendapat limpahan manfaat dari kedekatan ekonomi dengan Tiongkok bukan dari skema perdagangan AS atau Eropa. Dengan kata lain, kebangkitan ekonomi Tiongkok tidak hanya mengangkat dirinya sendiri, tetapi juga seluruh kawasan Asia sebagai pusat pertumbuhan dunia baru.
Oleh karena itu, angka 4,8 persen yang diproyeksikan Bank Dunia bukan sekadar data statistik, melainkan simbol dari arah sejarah baru. Tiongkok telah membuktikan bahwa kekuatan ekonomi bukanlah tentang siapa yang paling agresif di pasar keuangan, tetapi siapa yang paling mampu menjaga keseimbangan antara pembangunan, inovasi, dan kesejahteraan rakyat.
Ketika AS dan Barat sibuk menahan kebangkitan ini dengan retorika politik dan proteksionisme, Tiongkok justru menulis bab baru dalam sejarah global tentang ekonomi yang tangguh, teknologi yang maju, dan visi pembangunan yang humanis. Dunia kini menyaksikan pergeseran besar dari dominasi ekonomi Barat menuju keseimbangan baru di mana Tiongkok tampil bukan hanya sebagai mesin pertumbuhan global, tetapi juga teladan bagi masa depan ekonomi dunia yang lebih stabil, adil, dan berkelanjutan.