Senin, 17 Maret 2025 20:43:48 WIB

Perang Dagang AS ke Tiongkok Gagal Malah Membuat Rakyat AS Menderita
Indonesia

OPINI/Muhammad Rizal Rumra

banner

Ilustrasi

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) telah menjadi salah satu isu ekonomi global yang paling mencolok dalam beberapa tahun terakhir, terutama selama periode kepemimpinan Presiden Donald Trump pada masa jabatannya yang pertama antara tahun 2017 hingga 2021. Perang dagang ini dimulai pada tahun 2018 dan merupakan upaya AS untuk menekan Tiongkok terkait kebijakan perdagangan, imbal balik ekonomi, serta berbagai praktik perdagangan yang dianggap merugikan perekonomian AS.

Meskipun hasil dari perang dagang tersebut dirasakan sangat merugikan bagi AS, kebijakan ini tidak hanya bertahan, melainkan berlanjut setelah Presiden Trump kembali menjabat kedua kalinya di tahun ini. Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa AS tetap melanjutkan kebijakan yang jelas-jelas memiliki dampak negatif terhadap perekonomiannya, dan apa saja dampak tersebut?

Alasan sekaligus tujuan utama dari kebijakan ini tetap dipertahankan dan dilanjutkan, karena AS masih berharap dapat menstabilkan ekonominya yang mengalami defisit perdagangan terutama pada tahun 2018. Seperti yang telah diketahui, defisit perdagangan terbesar dalam neraca perdagangan AS berasal dari Tiongkok. Oleh karena itu, AS memutuskan untuk menerapkan kebijakan perang dagang dengan menaikkan tarif bea impor terhadap produk-produk asal Tiongkok.

Peningkatan tarif yang dikenakan oleh AS terhadap Tiongkok tentu menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan. Tiongkok, sebagai negara penerima impor, merasa terbebani oleh tarif bea yang lebih tinggi, yang selanjutnya memengaruhi neraca perdagangannya, karena Tiongkok harus mengeluarkan biaya ekstra untuk menjual produknya ke luar negeri. Sebagai respons, Tiongkok membalas dengan menaikkan tarif bea impor terhadap barang-barang dari AS, sehingga memicu babak baru dalam perang dagang antara kedua negara.

Meskipun diharapkan bahwa Tiongkok akan lebih merasakan dampak dari kebijakan ini, kenyataannya justru AS yang menjadi korban dari kebijakannya sendiri. Laporan dari US-China Business Council yang dipublikasikan oleh Oxford Economics pada tahun 2021 menunjukkan bahwa kebijakan ini justru merugikan ekonomi AS tanpa mencapai tujuan utamanya. Sebagaimana yang telah diketahui, tujuan utama kebijakan ini adalah untuk mengurangi defisit perdagangan AS dengan Tiongkok, namun pada kenyataannya, defisit perdagangan tersebut justru semakin besar.

Berdasarkan data dari Bureau of Economic Analysis (BEA), defisit perdagangan AS pada tahun 2017 mencapai 337,18 miliar dolar AS atau sekitar 5,5 kuadriliun rupiah, yang kemudian melonjak menjadi 380,04 miliar dolar AS atau sekitar 6,2 kuadriliun rupiah pada tahun 2018. Selain itu, data dari Biro Sensus AS juga menunjukkan bahwa defisit perdagangan barang dengan Tiongkok pada tahun 2021 meningkat sebesar 45 miliar dolar AS atau sekitar 733 triliun rupiah, dengan kenaikan sebesar 14,5%, menjadi 355,03 miliar dolar AS atau sekitar 5,8 kuadriliun rupiah.

Data tersebut menunjukkan bahwa defisit perdagangan antara AS dan Tiongkok tetap sangat besar, yang mengindikasikan bahwa penerapan tarif bea tidak cukup efektif untuk memperbaiki ketidakseimbangan perdagangan yang diinginkan oleh AS.

Hal ini semakin menunjukkan bahwa kebijakan perang dagang tersebut tidak dapat menghancurkan ekonomi Tiongkok, karena ekspor Tiongkok ke AS hanya mencakup sekitar 2,7% dari total produksi barang dan jasa Tiongkok. Nilai ekspor ini, yang berjumlah 501,220 miliar dolar AS atau sekitar 8,1 kuadriliun rupiah, terbilang sangat kecil jika dibandingkan dengan total produksi barang dan jasa Tiongkok yang mencapai 17,963,172 triliun dolar AS atau sekitar 292,7 kuadriliun rupiah.

Dengan demikian, angka 2,7% tersebut tidak akan memberikan dampak serius terhadap ekonomi Tiongkok secara keseluruhan. Meskipun terjadi kerugian akibat perang dagang, Tiongkok dapat dengan mudah menggantikan kerugian sebesar 2,7% tersebut dengan mencari pasar baru. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perang dagang ini merupakan upaya yang sia-sia bagi AS.

Lebih lanjut, kebijakan tarif yang diberlakukan AS terhadap barang-barang impor dari Tiongkok juga menyebabkan harga barang-barang tersebut menjadi lebih mahal dan kurang kompetitif. Ironisnya, dampak dari kebijakan ini lebih dirasakan oleh rakyat AS, karena tarif tersebut pada akhirnya adalah pajak yang dibebankan kepada konsumen, yaitu masyarakat AS itu sendiri. Produk-produk Tiongkok, yang sebagian besar merupakan barang konsumsi kelas menengah ke bawah, sangat dibutuhkan oleh kelompok masyarakat tersebut, yang sudah terbebani oleh stagnasi upah dan inflasi yang semakin tinggi.

Selain itu, perusahaan-perusahaan AS yang memiliki pabrik di Tiongkok juga turut menanggung beban tarif tersebut, karena lebih dari 70% impor AS berasal dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Tiongkok. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan ini menjadi pihak yang dirugikan, karena tarif yang dikenakan pada barang-barang impor akan meningkatkan harga dan mengurangi daya beli masyarakat.

Di samping itu, meskipun kebijakan perang dagang bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan dengan Tiongkok, kebijakan ini justru berdampak buruk pada ekspor produk-produk AS, terutama di sektor pertanian. Misalnya, ekspor kedelai AS ke Tiongkok mengalami penurunan signifikan hingga 74%, dari 12,2 miliar dolar AS atau sekitar 195,5 triliun rupiah pada tahun 2017 menjadi hanya 3,1 miliar dolar AS atau sekitar 48,9 triliun rupiah pada tahun 2018. Hal ini menyebabkan kerugian besar bagi petani AS, yang bergantung pada ekspor ke Tiongkok.

Menurut laporan US-China Business Council, pada akhir tahun 2019, perang dagang ini telah menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 108 miliar dolar AS atau sekitar 1,7 kuadriliun rupiah, serta kehilangan sekitar 245.000 lapangan kerja di AS. Semua bukti ini menunjukkan bahwa kebijakan perang dagang terhadap Tiongkok tidak tepat, karena ketergantungan AS terhadap Tiongkok jauh lebih besar, sehingga justru mengakibatkan kerugian yang lebih besar bagi AS dibandingkan Tiongkok.

Menurut penelitian Moody's Analytics dalam riset berjudul "Living in The Tail Risk," perang dagang ini diperkirakan akan memberikan dampak yang lebih buruk bagi AS ketimbang Tiongkok, dan akan menekan ekonomi AS secara lebih signifikan. Sementara itu, Tiongkok masih dapat bertahan dengan membangun alternatif rantai pasokan global, terutama di wilayah Asia Tenggara.

Meskipun kebijakan perang dagang ini sangat merugikan AS, Presiden Trump tetap melanjutkan kebijakan tersebut selama masa jabatannya yang kedua. Dalam analisis geopolitik, keputusan ini dapat dipahami sebagai upaya AS untuk mempertahankan posisinya sebagai kekuatan global utama. Tiongkok, dengan pertumbuhannya yang pesat, dilihat sebagai tantangan utama bagi dominasi global AS. Kebijakan perdagangan yang lebih keras terhadap Tiongkok dianggap perlu untuk melindungi kekuatan ekonomi dan teknologi AS serta memastikan dominasi Amerika dalam tatanan global.

Kebijakan perang dagang ini merupakan bagian dari strategi yang lebih besar untuk membatasi pengaruh Tiongkok dalam bidang-bidang teknologi canggih dan perdagangan global, serupa dengan kebijakan yang diterapkan AS terhadap Jepang pada tahun 1980-an. Pada masa itu, Jepang juga mengalami kemajuan pesat dalam bidang teknologi dan ekonomi, yang akhirnya memicu kebijakan perang dagang dari AS. Namun, meskipun AS berhasil menundukkan Jepang, hal yang sama sulit dilakukan terhadap Tiongkok, yang memiliki sistem politik dan ekonomi yang sangat berbeda dengan Jepang.

Pemerintah Tiongkok berhasil mengatasi perang dagang ini dengan serangkaian kebijakan strategis, seperti diversifikasi pasar ekspor dan memperkuat hubungan perdagangan dengan negara-negara di Asia, Eropa, dan negara berkembang melalui berbagai inisiatif seperti Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) dan kerja sama multilateral seperti Kelompok Dua Puluh (G20), Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), dan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP). Dengan demikian, Tiongkok mampu menciptakan pasar terbesar di dunia dan mengurangi ketergantungan pada pasar AS.

Tiongkok juga berhasil mengembangkan industri dalam negeri, terutama di sektor teknologi dan manufaktur, yang sebelumnya bergantung pada impor dari AS. Salah satu langkah penting yang diambil Tiongkok adalah berinvestasi besar-besaran dalam industri semikonduktor, yang mengurangi ketergantungan Tiongkok pada chip impor dari AS.

Secara keseluruhan, perang dagang yang dilancarkan oleh AS terhadap Tiongkok sering dianggap sebagai strategi yang gagal. Perang dagang ini mengganggu rantai pasokan global, menaikkan harga barang, dan tidak memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi AS. 

Tiongkok, dengan kebijakan dan strateginya yang cerdas, berhasil bertahan dan bahkan memperkuat posisinya di pasar global, sementara AS justru semakin merugi. Oleh karena itu, banyak analis yang memperingatkan bahwa melanjutkan kebijakan perang dagang ini hanya akan merugikan ekonomi AS tanpa memberikan hasil yang diharapkan.

Komentar

Berita Lainnya

Memperkuat Ketahanan Pangan Nasional Indonesia

Rabu, 5 Oktober 2022 17:33:33 WIB

banner
Pertemuan P20 di Buka Indonesia

Kamis, 6 Oktober 2022 14:20:55 WIB

banner