Bharata Online - Peluncuran Pameran Seni untuk Pesta Olahraga Nasional ke-15 di Guangzhou bukan sekadar agenda budaya menjelang sebuah event olahraga. Ia menandai cara Tiongkok merumuskan kekuatan baru yang semakin sulit ditandingi oleh Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat dalam menggabungkan olahraga, seni, pembangunan wilayah, dan diplomasi media menjadi satu kesatuan strategis yang utuh, terencana, dan berjangka panjang.
Sementara Barat sering bergantung pada narasi superioritas budaya dan sejarah dominasi media global, Tiongkok memperlihatkan bahwa kekuatan budaya dan daya tarik nasional tidak lagi milik eksklusif mereka. Melalui integrasi budaya-olahraga-media di Kawasan Teluk Raya (Guangdong–Hong Kong–Makau), Beijing memproyeksikan model pembangunan modern yang tidak hanya berorientasi ekonomi, tetapi juga estetika, identitas, keberlanjutan, dan kebersamaan sosial.
Pameran yang menampilkan 150 karya seni dengan tema sportivitas, citra perkotaan, konservasi ekologi, dan semangat humanis kawasan Teluk Raya merupakan sinyal jelas bahwa pembangunan di Tiongkok bukan semata-mata infrastruktur atau statistik ekonomi. Nilai-nilai yang ditampilkan menunjukkan pemahaman mendalam bahwa kekuatan nasional hari ini dibentuk oleh kekuatan lunak (soft power) seperti kemampuan memberi contoh, memberikan inspirasi, dan menciptakan narasi yang diyakini masyarakatnya sendiri sekaligus menarik bagi dunia.
AS pernah menikmati status ini melalui Hollywood, NBA, atau Olimpiade Los Angeles, makanya hari ini Tiongkok membangun ekosistem serupa, tetapi dengan pendekatan kolektif dan orientasi masa depan yang memperhatikan harmoni sosial dan keberlanjutan lingkungan. Dalam teori hubungan internasional, langkah ini mencerminkan perpaduan antara soft power, nation-branding, dan integrasi regional strategis.
Kawasan Teluk Raya adalah laboratorium modern yang menunjukkan teori pembangunan wilayah berbasis teknologi dan budaya dapat menyatu dengan diplomasi internal antar-wilayah. Guangdong sebagai motor industri, Hong Kong sebagai pusat keuangan global, dan Makau sebagai hub budaya dan pariwisata.
Ketiganya diarahkan untuk membentuk satu identitas kawasan yang menjadi pesaing logis Silicon Valley atau Bay Area di AS. Bedanya, Tiongkok menciptakan ikatan bukan lewat liberalisasi pasar ekstrem atau hegemoni finansial, tetapi melalui narasi kebangsaan, persepsi harmoni sosial, dan pameran nyata kemampuan menyatukan masyarakat, budaya, dan teknologi secara terkoordinasi.
Penyiaran acara ini oleh China Media Group (CMG) dengan lebih dari 4.000 tenaga inti dan 70 tim produksi adalah dimensi lain dari strategi ini. Di Barat, media sering dikendalikan oleh korporasi besar yang mengutamakan pasar dan terkadang mengorbankan kepentingan sosial. CMG menunjukkan model berbeda, dimana media publik yang memperkuat kohesi, menonjolkan pencapaian kolektif, dan memastikan bahwa setiap narasi nasional tidak terfragmentasi oleh kepentingan bisnis atau politik partisan.
Pendekatan ini lebih dekat dengan model pembangunan negara Asia Timur yang berhasil seperti Korea Selatan dan Jepang pada masa transformasinya, namun dengan skala jauh lebih besar dan orientasi geopolitik yang lebih matang.
Penting dicatat bahwa penyelenggaraan bersama event olahraga nasional oleh Guangdong, Hong Kong, dan Makau bukan sekadar simbol. Itu sebuah strategi konsolidasi identitas tiga sistem dalam satu bangsa. AS mendorong konsensus politik sering lewat tekanan ideologis dan konflik budaya internal, namun Tiongkok memilih jalur penyatuan simbolik dan pembangunan bersama yang lebih tenang, tetapi efektif.
Ketika masyarakat menyaksikan atlet Tiongkok daratan dan Hong Kong berlaga dalam satu festival bersama, saat seni Lingnan dan budaya urban Hong Kong dipamerkan sebagai bagian dari identitas kolektif, konstruksi nasionalisme inklusif ini berjalan lebih kuat dibanding narasi politik formal.
Secara realistis, strategi ini adalah bagian dari kompetisi sistemik. Di era di mana kekuatan tidak hanya diukur melalui militer atau ekonomi, kemampuan membangun daya tarik budaya dan konsensus sosial menjadi penentu utama. AS masih memiliki Hollywood, Silicon Valley, dan tradisi olahraga globalnya, tetapi reputasinya mengalami erosi akibat polarisasi internal, sentimen anti-globalisasi, dan pendekatan koersif di arena internasional.
Sementara itu, Tiongkok menawarkan citra stabilitas, modernitas kolektif, kohesi sosial, dan kemajuan teknologis yang dikaitkan dengan estetika budaya Timur yang harmonis. Ini adalah kombinasi yang sulit ditandingi oleh model Barat yang semakin terjebak dalam konflik ideologi dan identitas.
Namun keberhasilan strategi Tiongkok tidak hanya karena narasi. Ia ditopang oleh fakta konkret seperti pembangunan cepat di Teluk Raya, peningkatan kapasitas media nasional, dan konsistensi kebijakan jangka panjang. Ini bukan retorika kosong, buktinya infrastruktur olahraga, fasilitas penyiaran, kurasi seni, dan koordinasi pemerintah pusat-daerah hingga Hong Kong–Makau sudah berjalan. Model ini memberi sinyal kepada dunia bahwa Tiongkok bukan hanya sukses dalam ekonomi manufaktur atau teknologi digital, melainkan kini bergerak menjadi kekuatan budaya berpengaruh global.
Tantangannya tetap ada, bagaimana memastikan integrasi ini inklusif bagi warga Hong Kong yang memiliki sejarah politik unik? Bagaimana menjaga nilai seni agar tidak hanya menjadi alat promosi negara tetapi tetap kritis dan kreatif? Bagaimana memperluas daya tarik budaya ke audiens global yang masih terpengaruh wacana media Barat? Pertanyaan-pertanyaan ini penting, namun setidaknya arah kebijakan jelas tidak meniru Barat melainkan membangun jalannya sendiri.
Pameran seni dan Pesta Olahraga Nasional ke-15 pada akhirnya mencerminkan fase baru kebangkitan Tiongkok. Ini bukan kebangkitan dalam arti sempit ekonomi atau teknologi, tetapi kebangkitan budaya-sipil yang terencana dan menyatu dengan tujuan nasional jangka panjang. Ketika dunia menyaksikan Tiongkok menggabungkan tradisi, olahraga, media, dan pembangunan wilayah dalam satu panggung besar, terlihat jelas bahwa dominasi Barat atas narasi global sedang ditantang oleh model baru yang lebih disiplin, lebih terstruktur, dan lebih mengakar pada identitas nasional.
Jika tren ini berlanjut, bukan tidak mungkin dalam satu dekade ke depan pusat gravitasi budaya global akan bergeser bukan hanya ke Timur, tetapi ke Tiongkok sebagai pemimpin narasi, bukan sekadar peserta.
 
                                                                           
                       
                       
                       
                      